Wuhhh...! Drama panjang kasus Bank Century akhirnya berujung juga. Enam fraksi menyebut pengucuran dana oleh negara itu merupakan tindakan yang salah. Tiga fraksi berbeda pendapat. Apa pun hasilnya, drama Century telah memberi pelajaran penting bagi bangsa ini. Di antaranya, yaitu:
Rasa keadilan
Terlepas benar atau salah tindakan itu, bailout atau pengucuran uang negara sebesar Rp 6,7 triliun pada Bank Century dianggap banyak pihak telah menodai rasa keadilan.
Bila sebuah perusahaan 'jebol' karena ulah pemiliknya sendiri, haruskah negara menanggungnya? Apakah bank memiliki perkecualian untuk itu? Jika ya, bagaimana mungkin seluruh rakyat harus menanggung kebobrokan satu dua orang? Kasus Century mengingatkan betapa bangsa ini masih tak menghargai rasa keadilan publik.
Moralitas bangsa
Wakil Presiden Boediono dan Menteri Sri Mulyani adalah sosok bersih di lingkungan elite negara. Saat ini, sangat jarang sosok sebersih mereka. Namun, keduanya harus menanggung akibat dari kebobrokan moral orang lain. Yang paling nyata adalah kebobrokan moral Robert Tantular, yang memiliki keleluasaan bergerak sampai pada tingkat yang menimbulkan kerusakan luar biasa. Robert jelas tak bergerak sendiri. Tentu banyak kepentingan lain di belakangnya. Kasus Century mengingatkan bangsa clan negara begitu teracak-acak moralitas bobrok.
Profesionalitas pengelolaan negara
Kasus Century juga mengingatkan bahwa pengelolaan negara masih jauh dari profesional. Sistem pengawasan masih sangat lemah. Antisipasi tindakan awal, kalau memang ada, jauh dari memadai. Penyelesaian masalah melalui intervensi langsung negara, dan bukan intervensi korporasi, menunjukkan bahwa lembaga sepenting Bank Indonesia dan pengambil kebijakan penting lainnya kurang berpengalaman di dunia profesional.
Pernah saya tuliskan bahwa baik atau buruk bangsa ini merupakan produk dari lima logika. Yakni, logika birokrasi, politisi, militer, aktivis masyarakat, dan akademisi. Keadaan ini sangat berbeda dengan Singapura yang didominasi oleh logika pengusaha dan profesional.
Politik kekuasaan
Kasus Bank Century bukan semata-mata persoalan bailout, namun telah berkembang menjadi persoalan politik. Bahkan, muatan politik kasus ini telah menjadi lebih besar dibandingkan substansinya. Penilaian tentang apakah bailout Bank Century bermasalah atau tidak, jelas merupakan komoditas politik. Perlawanan pihak yang menolak kasus Century diangkat dengan menggunakan isu pajak, juga merupakan manuver politik. Keadaan ini dapat dimengerti. Di seluruh bangsa yang belum berkembang, politik memang panglima. Persoalannya: Apakah kita akan terus-menerus menjadikan bangsa ini mengpanglimakan politik?
Budaya komunikasi
Kasus Bank Century juga menunjukkan betapa bangsa belum memiliki budaya komunikasi yang baik. Baik pihak setuju maupun tidak, untuk mengangkat kasus Bank Century telah terjebak dengan format komunikasi 'primitif yang mengabaikan aspek keberadaban. Baik di Senayan dari pihak pendukung bailout, maupun di lapangan dari para demonstran penentang pengucuran dana itu.
Komunikasi bangsa ini cenderung dengan model 'sambung rasa'. Jika tak 'tersambung', akan terpendam untuk kemudian meledak buat menyerang pihak lain. Kasus Century mengingatkan agar bangsa lebih banyak belajar berkomunikasi secara asertif: terbuka, tegas, serta santun.
Sistem hukum
Selama ini, sistem hukum kita sangat kental diwarnai oleh aspek-aspek nonhukum, terutama kepentingan uang dan kekuasaan. Pelimpahan penyelesaian kasus Century ke ranah hukum akan menjadi suatu ujian, apakah sistem hukum kita semakin mapan dengan keblinger-nya selama ini atau dapat segera ditransformasi ke jalan yang benar?
Allah tampaknya begitu sayang pada kita hingga menurunkan pelajaran komplit lewat drama Century. Tidakkah kita mau memetik pelajaran dari drama ini.
Sumber : Zaim Uchrowi, Harian Umum Republika, Jum'at, 5 Maret 2010, halaman 4 kolom 1.
No comments:
Post a Comment