Saturday, April 21, 2012

Ironi Sebuah Perencanaan

Siapapun pasti setuju bahwa perencanaan adalah hal mendasar untuk menggapai hari depan yang lebih baik. Di lembaga dan institusi manapun, membuat perencanaan adalah sebuah kewajiban. Gak peduli lembaga pemerintah atau swasta. Dalam sebuah rumah tangga saja, dibutuhkan perencanaan dan target. Perencanaan yang baik setidaknya akan menjadi indikator lembaga yang baik. Perencanaan biasanya ada yang jangkanya, jangka pendek, menengah dan panjang.

Namun sayangnya implementasi perencanaan ini tidak bisa dipastikan, apalagi jika di tengah jalan terjadi pergantian pimpinan. Dalam penerawangan saya, pergantian pimpinan tidak hanya terjadi di tingkat kepala negara, bisa juga terjadi ke tingkat-tingkat dibawahnya hingga tingkat terendah. Ini lah yang saya bilang ironi perencanaan. Di satu sisi orang menjungjung tinggi konsep perencanaan, namun di sisi lain impelemtasinya tidak bisa konsisten. Apalagi jika perencanaan tersebut tidak menguntungkan sang pemimpin saat ini.

Ini saya juga pernah saya alami sendiri. Saya mencoba memenuhi keinginan pimpinan untuk membuat perencanaan hingga 5 tahun ke depan. Baru jalan 3 tahun, perencanaan yang sudah disusun waktu itu, mulai dinafikan, bahkan mungkin dihapuskan. Alasannya adalah paradigma (ini hanya istilah saya doank) kebijakan yang berganti.

Jika kegiatan berbasis program oriented,  bukan project oriented, maka jika kebijakan berubah, tidak harus perencanaannya yang dibongkar atau dihapus. Yang perlu dilakukan adalah melakukan penyelarasan kembali agar tujuan yang substansial dari perencanaan tersebut tetap bisa tercapai. Saya yakin jika ada komunikasi dengan Biro Prencanaan, perencanaan saya tetap bisa dilanjutkan. Toh ini demi semua orang.

Sayangnya saya bukan siapa-siapa. Yang siapa-siapa saja tidak ingin berbuat, jika kemudian saya tetap berbuat dikhawatirkan akan bisa disalahtafsirkan, misal sebagai "personal deal" atau istilah lain yang berkonotasi negatif.

Mendaki Gunung, Menggapai Puncak

Dalam hidup ini, baru sekali-kalinya saya sempat mendaki gunung, yaitu Gunung Gede di Jawa Barat. Selebihnya hanya jalan-jalan ke gunung. Pernah juga mendaki gunung, tapi tujuannya lain, yaitu sekedar melihat kecelakaan pesawat dan proses evakuasinya di Gunung Salak.

Ingin rasanya sekali lagi mendaki ke Gunung Gede, namun sulit juga mencari temen seperjalanan. Usia yang sudah mendekati 50 seperti saya ini sudah tidak ada yang mau diajak naik gunung. Mungkin kegiatan ini dianggap melelahkan, membuang waktu, atau mencari susah saja.

Padahal saat naik ke Gunung Gede banyak hikmah yang saya dapatkan. Selain kepuasan bisa mencapai puncaknya dengan susah payah, hikmah lain selama perjalanannya pun sangat membekas hingga sekarang. Entah teman-temen seperjalanan saya yang lain, apakah ia merasakan hikmah yang sama?

Rasanya saat naik gunung, saya seolah-olah sedang menapaki sebuah jalan kehidupan. Itu baru saya rasakan sekarang setelah 15 tahun berlalu. Mendaki gunung tidak boleh sombong dan angkuh. Bukan karena kualat, tapi akan membuat kita lengah dan bisa membuat kecelakaan.

Naik gunung butuh persiapan matang, setidaknya persiapan fisik untuk hadapi kelelahan, kedinginan, dan kehujanan. Mendaki setinggi 1 meter seperti berjalan 5 meter. Mendaki 100 meter seperti jalan setengah kilo meter. Butuh banyak istirahat setiap mendaki beberapa puluh meter saja. Namun persiapan yang terlalu banyak dan komplet bisa jadi bumerang, kita menjadi dibuat cepet lelah karena beban yang harus dipikul. Jadi harus pinter-pinter mengukur beban yang akan dibawa. Gak kesedikitan dan gak kebanyakan.

Di usia yang sudah semakin menua ini, beban semakin memberat namun ternyata jalan makin menanjak dan tidak pasti. Ini analog dengan badan yang semakin lelah mendaki, namun puncak gunung belum juga terlihat. Atau justru puncak dari tadi sudah terlihat, tapi kenapa tidak sampai-sampai. Dalam mendaki, kalau sudah menghadapi keadaan seperti ini, hanya kekuatan moril yang dibutuhkan. Kekuatan ini bisa kita dapatkan dari dalam diri sendiri, atau self motivation, namun motivasi bisa juga kita dapatkan dari temen seperjalanan.

Kalau temen kita saling pengertian, bisa saling memotivasi. Karena pada dasarnya setiap orang punya kekuatan masing-masing yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain.

Yang paling menyedihkan kalau antara temen sudah sudah saling menghambat. Boro-boro kita menjadi termotivasi menapaki hidup, yang ada malah membuat hidup menjadi menyebalkan, membuat tidak betah dan membuat tidak nyaman.

Mau turun ke base camp,  sudah terlanjur jauh di atas gunung. Mau mendaki terus, gak semangat. Di sinilah kita akan dihadapkan pada sebuah dilema, mau terus berat, mau mundur gak mungkin. Dari pada memikirkan pilihan mana yang terbaik, lebih baik menetapkan diri untuk terus maju. Gak peduli masih jauh dan berat perjalanan ini, gak peduli apa yang bisa kita raih di ujung sana. Pokoknya gak ada pilihan bagi saya selain maju terus.

Cepat atau lambat akhirnya sampai juga di puncak gunung. Di sinilah bisa dirasakan kepuasannya bisa mencapai puncak. Namun ini tidak bisa dianalogikan dalam hidup. Kenapa? karena kita gak tau apa sih sebenarnya puncak dari kehidupan ini. Apakah gelar, jabatan, kekayaan, atau apa?

Penentuan puncak kehidupan perlu kita buat saat sebelum memulai mendaki, agar tujuan hidup menjadi tidak mengambang. Dan jangan sampai jika tujuan sudah tercapai, kita tetap tidak puas-puas. Pencapaian di atas tujuan anggap sebagai bonus Tuhan kepada kita. Bukan tujuan yang dinaikkan.

Rasanya sulit untuk memahami jalan pikiran ini jika Anda tidak pernah mencoba mendaki, setidaknya tanpa porter. Agar empati dari seorang pendaki bisa didapatkan.

Di dunia ini hanya ada beberapa orang yang mampu mencapai puncak pendakian. Karena perjalanannya memang berat, tidak hanya berat secara mental, namun berat secara fisik.