Saturday, May 01, 2010

I Made Wiryana : Apa Jadinya eGov tanpa OSS?

Mendengar judul di atas, tentu orang banyak yang menjawab, "Ah, program open source atau proprietary, kan sekedar alat bantu. Gunakan saja sesuai dengan situasi yang ada." Tentu saja untuk penggunaan pribadi atau perusahaan, tidak menjadi masalah. Namun, bila melibatkan kalangan pemerintah, misalnya untuk eGovernment maka pertimbangannya menjadi tidak mudah lagi.
Untuk pemanfaatan di lingkungan pemerintahan, mau tidak mau pertimbangan pemberian informasi kepada publik haruslah menjadi pertimbangan utama. Sebagai contoh, sistem eVoting dan eProcurement atau Single Identificaton System menuntut persyaratan bahwa sistem-sistem tersebut harus dipercaya oleh pengguna. Artinya, pengguna mempercayai sistem tidak melakukan kecurangan. Atau bila ada kecurangan yang disebabkan pihak internal, maka dapat dilakukan pendeteksian ataupun penjejakan. Seorang system administrator atau pemilik sistem tidak dapat secara semena-mena mengganti data yang telah dimasukkan. Tentu saja bila ada pertanyaan atau keraguan tentang akuntabilitas sistem maka kebutuhan source code tak dapat dihindarkan. Keberadaan source code ini bisa dalam bentuk perjanjian khusus ataupun karena memang perangkat lunak tersebut bersifat open source.

Sistem tanpa source code sangat rentan terhadap ketidakpercayaan berbagai pihak. Sebab proses melakukan audit perangkat lunak tersebut sangatlah sulit sehingga pengujian yang dapat dilakukan hanyalah bersifat black box testing. Sistem hanya dapat diuji dengan masukan dan keluaran saja, dan tentu saja pengujian seperti ini memiliki keterbatasan. Pengujian ini selalu menyisakan pertanyaan tentang proses apa yang sesungguhnya terjadi di sistem.

Berbeda dengan sistem yang memiliki source code maka pengujian oleh pihak bukan pembuat dapat dilakukan, baik dengan metodologi black box testing maupun white box testing. Sistem diuji bukan saja terhadap hasil masukan berapa dan berapa hasil keluarannya, tapi juga pada proses yang dilakukan, dan hasil-hasil sementara yang dihasilkan.

Pada beberapa negara, keberadaan source code untuk perangkat lunak yang bersifat kritis dan untuk kepentingan publik ini selalu menjadi persyaratan. Tentu saja, persyaratan ini jauh lebih mudah dipenuhi oleh perangkat lunak open source daripada perangkat lunak proprietary. Pada perangkat proprietary, dibutuhkan perjanjian khusus dengan harga yang lebih tinggi dari harga biasa. Untuk kondisi Indonesia, belum tentu vendor proprietary bersedia melakukan hal tersebut.

Selain syarat open source, sistem seperti eProcurement yang bersifat nasional, tentu diharapkan dapat dimanfaatkan oleh sistem lain secara mudah. Untuk itu, persyaratan interoperabilitas dan preservasi data tidak dapat dihindarkan. Dengan interoperabilitas maka di masa depan akan terhindar sistem informasi yang seperti pulau-pulau terpisah karena tidak bisa saling berbicara. Kedua syarat ini menjadikan data dapat dibaca oleh siapapun dan oleh perangkat lunak apapun, walau tidak dari vendor yang sama.

Sumber : Majalah InfoLinux 05/2010

No comments:

Post a Comment