Saturday, February 06, 2010

PLTN sebuah kebutuhan

Untuk kami yang tinggal sekitar Jabodetabek, listrik bisa dibilang sudah tidak menjadi masalah utama. Jabodetabek sudah dikelilingi banyak sekali pembangkit listrik (power plant). Ada PLTU Muara Karang, PLTU Ancol, PLTU Muara Tawar, PLTA Jatiluhur, PLTP Gunung Salak, PLTA Kracak, dan PLTD Semanggi. Daya listrik setiap pembangkit, silahkan klik disini.

Namun kalau mau bicara lebih makro, katakan Pulau Jawa, maka kebutuhan daya listrik belumlah memuaskan hingga saat ini. Ini ditandai dengan masih adanya pemadaman bergilir. Hal ini terjadi karena kebutuhan daya listrik di Pulau Jawa sangatlah tinggi dibanding pulau-pulau lain. Ini dipicu oleh banyaknya kawasan industri. Untuk memenuhi kekurangan daya listrik, trennya adalah membangun PLTU di sepanjang pantai utara Jawa dan pantai selatan juga. Karena kalau harus membangun PLTA baru, lahan yang dibutuhkan sudah mulai menipis. Kalau tidak ingin dikatakan, habis.

PLTU umumnya menggunakan bahan baku batubara. Batubara didatangkan dari Sumatra dan Kalimantan menggunakan tongkang. Setahun bisa 5000 - 7000 tongkang bongkar muat ke seluruh PLTU yang ada di Jawa. Jadi selain batubara digunakan untuk memutar turbin PLTU, bahan bakar minyak juga dibutuhkan untuk menjalankan kapal-kapal tongkang tersebut.

Ini semua bisa dikurangi secara drastis jika saja mau melirik PLTN (Pembangit Listrik Tenaga Nuklir). Dengan hanya membangun 3 PLTN di Pulau Jawa, kebutuhan listrik seluruh Jawa-Madura-Bali (Jamali) sudah dapat teratasi. Ini dengan asumsi, sebuah PLTN memiliki 4 unit pembangkit dengan daya 1350 MWe. Jadi dengan 3 PLTN, 1 unit di Jabar, 1 unit di Jateng dan 1 unit di Jatim, maka PLTN sudah memasok sekitar 15 GWe. Dan dengan asumsi juga, ada 1 unit yang overhaul setiap bulannya. 12 unit adalah cara untuk memudahkan siklus overhaul turbin.

Saat pembangunan jalan tol Padalenyi, maka ada sekelompok masyarakat yang diuntungkan, yaitu orang-orang yang ingin ke Bandung dan Jateng. Bahkan masyarakat Bandung juga diuntungkan secara ekonomis, yaitu pelaku bisnis di kota Bandung. Namun ada saja sekelompok masyarakat yang dirugikan, yaitu para pedagang sepanjang jalan lama, misal Plered. Inilah ironi sebuah pembangunan, ada yang diuntungkan dan ada juga yang dirugikan. Namun tidak berarti pembangunan harus ditunda hanya gara-gara ada sekelompok orang yang dirugikan. Terlalu naif jika berpikir seperti itu.

Bahkan jalan tol dari Serang hingga Cileunyi akan disambung sepanjang 59 km ke arah Sumedang. Tingkat satu ruas lagi akan terinterkoneksi dengan jalan tol Palimanan - Kanci - Pejagan.

Pembangunan PLTN juga hampir pasti ada sekelompok orang yang merasa dirugikan, entah karena dampak lingkungannya maupun dampak ekonominya. Yang jarang muncul ke permukaan (tidak mau terus terang) adalah dampak ekonominya. Bisa jadi UMR di sekitar PLTN akan ikut terdongkrak. Sehingga para pengusaha merasa margin keuntungannya akan menyusut. Atau para pengusaha kapal tongkang, pengusaha batubara, pengusaha PLTU, pengusaha transportasi, dan lain-lain usaha terkait, akan merasakan dampak sistemiknya. Belum lagi masalah kepadatan jalur distribusi listrik di Jamali.

Namun sekali lagi, manusia sebagai the most adaptive thing, tidaklah boleh menyerah begitu saja dalam menghadapi setiap problema. Problema adalah cara Tuhan untuk meningkatkan kualitas diri. Selalu ada jalan keluar jika berkeinginan untuk menemukannya. Hanya manusia yang bisa mengubah keadaan, tidak bisa berharap kepada Tuhan saja.

Dengan transportasi umum berbasis tenaga listrik, seperti di ibukota negara-negara yang sudah maju, maka biaya transportasi bisa ditekan seminimal mungkin. Manakala subway dan busway menggunakan listrik. Dan yang lebih penting lagi, biaya transportasi bisa tidak terpengaruh oleh fruktuasi harga minyak dunia. PLTN saat ini mampu memasok listrik hingga 50 tahun. Dengan RMB 1, (Rp 1.250.-) penduduk Beijing sudah bisa kemana saja ke semua penjuru kota Beijing.

Dengan sistem politik seperti sekarang ini, pembangunan jangka panjang (25 tahunan) menjadi pekerjaan yang sangat-sangat sulit. Apalagi jika para penyelenggara negaranya merasa tidak nyaman jika harus melanjutkan program pemerintah sebelumnya. Sehingga program yang dibuat sedemikian rupa sehingga bisa menguntungkan partai dan kelompoknya terlebih dahulu. Program yang mementingkan rakyat dalam jangka panjang menjadi kurang menarik. Jika keadaan sudah seperti ini, rasanya perlu diselaraskan terlbih dahulu mind set yang ada di kepala para penyelenggara negara. Entah bagaimana caranya.

No comments:

Post a Comment