Ternyata ukuran kode sumber kernel dan berkas lain yang harus saya ambil cukup besar, yaitu sekitar 60 Mbytes. Untungnya, pada saat saya memasang Linux ini, saya memiliki akses Internet. Meskipun kecepatannya pas-pasan, biayanya tidak bergantung kepada banyak data yang ditransfer.
Akibat kecepatan yang pas-pasan ini, saya harus menunggu hampir satu jam untuk mendapatkan kode sumber tersebut. Setelah kode sumber diperoleh, baru saya bisa merakit kernel Linux. Untungnya (lagi-lagi), saya tidak perlu mengambil berkas-berkas lain dari Internet sehingga proses rakit-merakit berjalan dengan mulus.
Saya membayangkan betapa sulitnya jika tidak memiliki akses Internet atau kecepatan aksesnya sangat lambat. Mungkin saya tidak dapat memasang Linux dalam satu hari. Bagaimana jikakomputer ini dibutuhkan hari ini juga untuk kegiatan perusahaan? Atau, bisa jadi akses Internet ada, tetapi biayanya sangat mahal sehingga tidak wajar. Jika kita menggunakan layanan wireless dari operator seluler, yaitu Rp 1,-/Kbyte, maka untuk mengambil 60 Mbytes dibutuhkan biaya Rp 60.000,-. Biaya sebesar ini masih terlalu mahal, hanya untuk mendapatkan kode sumber kernel (yang dalam bayangan orang seharusnya gratis, memang gratis kode sumbernya, tapi cara mendapatkannya yang ternyata harus bayar).
Salah satu solusinya adalah dengan menyiapkan semua berkas yang dibutuhkan secara offline, misalnya dalam bentuk DVD atau harddisk. Sayangnya, metode ini kurang efektif jika perubahan (update) sering terjadi, seperti yang lazim terjadi di dunia open source. Meskipun demikian, penyediaan kode sumber melalui DVD, seperti yang disertakan dalam majalah, masih tetap harus dilakukan. Memang lebih baik lagi apabila ada akses Internet.
Ini mengingatkan saya pada sebuah kejadian. Pada satu saat, saya terlibat diskusi tentang Internet (atau lebih umumnya telekomunikasi) masuk desa. Para perancang program ini menganggap bahwa orang di desa tidak membutuhkan akses Internet pita
lebar. Akses Internet-nya hanya asal ada saja. Saya tidak sepakat dengan pendekatan ini.
Apa bedanya penduduk desa dengan penduduk kota? Mereka kan sama-sama ingin ngoprek Linux juga. Untuk itu, penduduk desa membutuhkan akses Internet pita lebar juga. Tentu saja harganya harus murah juga. Akan aneh jika penduduk kota bisa mendapatkan kode sumber dengan murah, sementara penduduk desa harus membayar lebih mahal. Jika demikian, jurang digital divide akan semakin lebar. Apa kata dunia?
Pada akhirnya, bisa disimpulkan bahwa akses Internet harus pita lebar, dan murah biayanya. Bahkan, saya masih ingin mengatakan bahwa Internet pita lebar merupakan hak asasi manusia Indonesia. Terlalu berlebihan tidak, ya?
Sumber : Majalah InfoLinux 04/2010
No comments:
Post a Comment