Ketika banyak negara mulai membangun reaktor nuklir, pembelahan inti atom tampaknya menjadi penolakan utama nuklir sebagai energi alternatif beberapa dekade silam. Kini di seluruh dunia ada sekitar 440 pembangkit listrik tenaga nuklir yang menghasilkan 16 persen energi listrik di Bumi.
Banyak manfaat pembelahan inti atom: Energi melimpah, tak ada emisi karbon dioksida, tak ada bangunan tak menarik (kecuali kubah penampung dan menara pendingin yang jarang terlihat). Tetapi seiring masalah-masalah utama yang berkaitan dengan energi nuklir - kecelakaan di Chernobyl, Ukraina, lebih mahal bila dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Belum lagi tantangan limbah radioaktif, karena tenaga nuklir jauh dari definisi energi yang dapat diperbarui. Bahan bakar uranium yang tersedia saat ini akan habis dipakai dalam kurun 50 tahun.
Namun semangat memakai pembelahan inti atom bangkit kembali. Cina yang menghadapi kekurangan energi listrik, mulai membangun reaktor-reaktor baru dengan cepat-satu atau dua reaktor setahun. Di AS, Wakil Presiden Dick Cheney mengimbau masyarakat untuk "melihat sisi segar" nuklir. Dan Jepang, yang kekurangan minyak bumi, gas, dan batu bara, terus mendukung pengembangan program pembelahan inti atomnya. Meski menjadi saksi mata bom Hiroshima di masa kecil, Yumi Akimoto, negarawan Jepang untuk kimia nuklir dan Presiden Japan Atomic Energy Relations Organization, menggambarkan pembelahan inti atom sebagai "pilar abad mendatang.”
Di kota Rokkasho, ujung utara Pulau Honshu, Negeri Sakura tengah berjuang mengatasi keterbatasan pasokan uranium. Di dalam kompleks baru senilai 2,4 triliun yen, para pekerja berpakaian seragam biru pucat bekerja dengan giat dan sabar. Saya memandang mesin berbentuk silinder yang memisahkan dua zat untuk memperkaya kandungan uranium, dan sebuah kolam terpisah diisi dengan bahan bakar nuklir yang telah dipakai didinginkan. Bahan bakar yang telah dipakai kaya akan plutonium dan menyisakan Uranium -materi berharga nuklir yang perlu diselamatkan untuk pembangkit listrik. Mesin itu akan "memroses kembali" bahan bakar yang telah dipakai menjadi campuran uranium dan plutonium yang disebut MOX (Mixed Oxide fuel). MOX dapat dibakar dalam beberapa reaktor modern dan dapat memperlonggar ketersediaan pasokan bahan bakar untuk beberapa dekade mendatang.
Pemrosesan kembali pembangkit listrik di negara-negara lain seperti Prancis, Rusia, India, Belgia, dan Inggris, juga mengubah bahan bakar yang telah dipakai menjadi MOX. Pembangkit listrik itu semula dirangsang untuk membuat plutonium bagi senjata-senjata nuklir. Maka orang-orang Jepang suka mengatakan, reaktor-reaktor nuklir mereka, yang dijadwalkan mulai beroperasi tahun 2007, adalah pemrosesan kembali bahan bakar yang kali pertama dibangun sepenuhnya untuk penggunaan damai. Guna menjamin dunia tetap damai, di dalam kompleks Rokkasho ada gedung untuk para inspektur dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), kelompok pemantau PBB, yang akan memastikan tak satupun plutonium dimanfaatkan untuk senjata.
Namun kehadiran pengawas itu belum memuaskan para penentang energi nuklir. Pertentangan meluas di Jepang setelah kecelakaan fatal di pembangkit listrik bertenaga nuklir milik negara, salah satunya menewaskan dua pekcrja dan menebarkan radiasi pada yang lain.
Reaktor-reaktor breeder bahkan lebih kontroversial. Tetapi sebagian pendukung tenaga nuklir yakin, reaktor breeder harus segera dikembangkan. Reaktor ini dapat menghasilkan lebih banyak bahan bakar daripada yang dikonsumsi dalam bentuk plutonium, yang dapat diperoleh dengan memroses kembali bahau bakar bekas pakai. Namun uji coba reaktor breederterbukti lebih rumit dibandingkan jenis reaktor lain. Reaktor breeder menghasilkan banyak plutonium, lebih mahal, dan lebih sulit menjamin keselamatan operasionalnya.
Akimoto, salah satu pendukung energi nuklir, yakin masyarakat akan menerima pemrosesan kembali bahan bakar kalau mau bergantung pada pembelahan inti atom sebagai sumber energi. Ia menekankan hal ini: "Jika kita mau menerima energi nuklir, kita harus menerima sistem keseluruhannya. Terkadang kita ingin buru-buru memanen hasil, tetapi lupa bagaimana menanam pohonnya."
Sumber :
National Geographic, Agustus 2005. Halaman 72-75.
No comments:
Post a Comment