Sunday, July 26, 2009

Serbuan Pasukan Linud di Dili

Ketika Presiden Amerika Serikat Gerald Ford yang didampingi oleh Menteri Luar Negeri Henry Kissinger mengadakan pertemuan dengan Presiden Suharto di Istana Merdeka, Jakarta, pada tanggal 6 Desember 1975 pukul 08.00, hari itu merupakan hari H-1 bagi operasi serbuan pasukan linud dan pendaratan amfibi di Dili. Bahkan Hari-H bukan lagi dalam hitungan hari, tetapi dalam hitungan jam. Jam-J tinggal menunggu waktu kurang dari 24 jam. Menyingung masalah Timor Timur dalam pertemuan itu, maka tidak sulit bagi Presiden Suharto bahwa Indonesia yang telah menggagalkan perebutan kekuasaan partai komunis dalam tahun 1965, menyalahkan komunis atau golongan kiri yang akan menguasai Timor Portugis. Hal ini disebabkan Amerika Serikat sedang mengalami trauma tentang jatuhnya Pemerintah non-komunis di Vietnam dan Kamboja pada bulan April 1975. Pemerintah non-komunis Laos juga jatuh ke tangan komunis pada tahun yang sama. Peristiwa ini menguatkan teori domino yang mengatakan jika salah satu negara non-komunis jatuh, maka negara non-komunis lainnya akan jatuh juga.


Presiden Ford tahu bahwa peralatan militer buatan Amerika Serikat dipakai dalam operasi militer Indonesia di Timor Portugis. Pada waktu itu Menteri Luar Negeri Kissinger sempat bertanya, "Itu alat-alat militer buatan Amerika Serikat dipakai (di Timor Portugis) atau tidak?" Menteri Luar Negeri Adam Malik menjawab, "Kalau tidak ada Hercules kita pakai apa?" Mendengar jawaban itu Menteri Luar Negeri Kissinger hanya diam saja. Pertanyaan yang sama juga dilontarkan oleh Brent Scowcroft Ketua US National Security Council kepada Mayjen TNI Benny Moerdani yang berada di ruang lain. Jenderal berbintang dua itu menjawab, "Kami tidak mempunyai pilihan lain". Menutup pembicaraan tentang masalah Timor Portugis, maka Presiden Ford berkata, "Timor is your problem". Perkataan Presiden Ford itu dapat difatsirkan jika Indonesia masuk ke Timor Timur, Amerika Serikat tidak akan campur tangan. Ketika Menlu Kissinger bertemu dengan Mayjen Benny Moerdani yang sedang bersama Brent Scowcroft, ia meminta agar Indonesia jangan memulai penyerbuannya ke Timor Portugis, sebelum Air Force One ke luar dari wilayah udara Indonesia. Mayjen Benny Moerdani menyanggupkan hal itu. Presiden Ford dan rombongan meninggalkan Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta, menuju ke Tokyo pada pukul 11.30 WIB.

Secara geografis Timor Portugis cocok digunakan sebagai pangkalan militer di kawasan Asia Tenggara bagi negara Adi Kuasa. Perairan di lepas pantai Utara Timor Portugis memiliki kedalaman sekitar 2000 meter, memungkinkan kapal selam nuklir bergerak di bawah laut melintas dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik atau sebaliknya lewat Selat Ombai dan perairan Maluku. Lapangan terbang Baucau sepanjang 2400 meter dapat digunakan untuk mendarat pesawat berbadan lebar sekelas dengan pesawat DC-10. Pesawat intai maupun pesawat pembom jarak jauh dapat mendarat di Baucau. Demikian pula pesawat angkut strategis, Antonov An-124 Condor yang mampu membawa peluru kendali nuklir SS-20 lengkap dengan kendaran peluncur, segala peralatan pendukung serta seluruh personil yang mengoperasikannya. Seandainya Timor Portugis digunakan sebagai pangkalan militer Sovyet, maka jangkaun pesawat pembom jarak jauh maupun peluru kendali berkepala nuklir, dapat menjangkau ke seluruh benua Australia dan Selandia Baru.

Uni Sovyet yang tidak memiliki pangkalan Angkatan Laut di air hangat di Samodra Pasifik, sangat berkepentingan untuk memiliki pangkalan militer di kawasan Asia Tenggara. Wladivostok adalah satu-satunya pangkalan Angkatan Laut Uni Sovyet di pantai Timur benua Asia, tertutup salju selama enam bulan pada musim dingin. Oleh sebab itu dalam Perang Vietnam Uni Sovyet tidak segan-segan mengucurkan dana sebesar US$ 3 milyar dalam bentuk senjata, mengerahkan 3000 orang anggota militer non-tempur, 13 orang diantaranya tewas, untuk memperoleh konsesi Teluk Cam Ranh sebagai pangkalan militernya di Asia Tenggara. Jika Timor Portugis dikuasai oleh golongan komunis, maka peta pertahanan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik akan mengalami ancaman besar. Kekhawatiran Amerika Serikat itu, menyebabkan Presiden Ford memberikan lampu hijau bagi Indonesia masuk ke Timor Portugis. Demikian pula bagi Indonesia, ancaman komunis dari Timor Portugis akan mengganggu keutuhan wawasan Nusantara.

Persiapan Operasi Seroja

Ketika Presiden Suharto mengadakan pertemuan dengan Presiden Ford di Istana Merdeka, hari itu menjadi puncak pre-positioning pasukan dan pre-stocking logistik maupun peralatan militer untuk serbuan pasukan linud dan pendaratan amfibi di Dili. Sejak 12 Agustus 1975 TNI-AU secara berangsur-angsur telah melakukan pre-positioning pasukan dan pre-stocking logistik dari Lanud Iswahyudi Madiun, ke Lanud Penfui, Kupang, sebagai pangkalan persiapan. Pergeseran pasukan terdiri dari dua satgas, yaitu Satgas-A untuk perebutan kota Dili pada Hari-H atau tanggal 7 Desember 1975 dan Satgas-B untuk perebutan kota Baucau sebagai kota terbesar kedua di Timor Timur pada hari H+3 atau tanggal 10 Desember 1975. Satgas-A dibawah pimpinan Letnan Kolonel Inf Matrodji, seorang pejuang 1945 yang menjabat sebagai Komandan Brigif-18/Linud Kostrad.

Satgas-A membawahi Brigif-18, terdiri dari 285 orang anggota Yonif 501/Raiders dari Jiwan, Madiun (Komandan : Mayor Inf Ismail), 443 orang anggota Yonif 502/Raiders dari Singosari, Malang (Dan : Mayor Inf Warsito), 170 orang anggota Grup-1 Parako/Kopasandha (Dan : Letkol Inf Sugito), 400 orang anggota BTP-5/Infrantri Brigade-1/Pendarat Marinir dari Karangpilang Surabaya (Dan : Letkol Mar Achmad Sediono), dan 158 orang anggota Detasemen A Kopasgat TNI-AU dari Lanus Husein Sastranegara, Bandung (Dan : Kapten Psk Silaen). Keseluruhan pasukan pemukul ini berjumlah 8.471 orang.

Operasi Lintas Udara mengggunakan 9 pesawat Hercules C-130B dari Skudron 31/Angkut Berat dengan flight leader Letkol Pnb Suakadirul. Penerjunan dilakukan dalam 3 sortie. Jika sortie-1 menggunakan 9 pesawat, sortie-2 hanya menggunakan 5 pesawat akibat adanya pesawat yang mengalami kerusakan akibat tembakan Fretilin. Sementara penerjunan sortie-3 dibatalkan sesaat sebelum pesawat taxi.

Korban yang jatuh dalam operasi ini adalah 35 orang anggota Yonif-501 Brigif-18/Linud Kostrad, 16 orang Grup-1/Parako (6 diantaranya dinyatakan hilang), termasuk 1 orang Mayor (Mayor Atang Sutrisna) dan 2 orang Kapten (Kapt Inf H Simanjuntak, Kapt Inf Ajat Sudrajat). Gugur pula Pelda Pudjio, load master Hercules T-1312 di dalam pesawat akibat tembakan dari darat.

Semoga pengorbanan mereka mendapat balasan yang setimpal dari yang Maha Kuasa.

Sumber : Subroto, Hendro, "Operasi Udara di Timor Timur", Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 2005. Halaman 107-167.

3 comments:

  1. Baagus sekali artikel yg anda muat di sini, membuat saya tau sedikit lagi tentang sejarah kekejian Indonesia atas penduduk Timor-Leste. apa org datang membunuh harus didoain tuk mendapat sesuatu dariyg maha kuasa?
    Lucu juga

    ReplyDelete
  2. Perang menyebabkan kekejian di kedua pihak, that's facts dengan intensitas yg sulit diukur. Mungkin terasa sulit memahami dunia yang aneh. Mendoakan sesama muslim adalah hal lain yang sifatnya fardhu kifayah.

    ReplyDelete
  3. Bagus juga artikelnya, nih......Kamu dapat cerita ini waktu MenWa dulu, ya.....???

    ReplyDelete