Saturday, December 26, 2009

Dieng, negeri di atas awan

Begitulah anggapanku saat muncul keinginan untuk pergi ke sana. Dieng sudah sering aku dengar, namun belum sempat mengunjungi sekalipun. Lokasinya tidaklah terlalu jauh, bahkan ada diantara jalur dari Jakarta ke Yogyakarta. Pergi sendiri, rasanya tidak enak. Tidak bisa berbagi kesenangan bersama. Bahkan terkesan hanya menikmati sendiri. Sementara pergi dengan teman, rasanya sudah sangat sulit. Tidak seperti dahulu. Semuanya telah tenggelam dalam kesibukannya masing-masing dan dengan segala pertimbangannya.

Jika kunjungan ini ditunda terus, rasanya akan menjadi jauh dari kemungkinan untuk ke sana. Akhirnya dengan tanpa rencana yang matang, (rencana standar saja) akhirnya aku sempatkan diri berkunjung dengan mengajak keluarga. Anak-anak terpaksa tidak masuk sekolah selama ke sana. Karena waktu yang aku pilih adalah hari kerja. Agar sinkron dengan waktu penugasanku ke Yogyakarta.

Perencanaan yang tak perlu matang pula yang telah mengantarkan aku bisa mengunjungi negara-negara Asean. Rasanya, perencanaan yang matang hanya membuat berat langkah kaki ini. Entah kenapa. Mungkin terlalu banyak pertimbangan.

Seusai menyelesaikan tugas di Yogyakarta, hari Kamis siang, sekitar tanggal 26 Nopember 2009, aku membulatkan tekad untuk menuju Dieng Plateu. Dengan berbekal informasi sepotong mengenai jalur alternatif, peta lebaran dan Garmin GPSmap 76CSx aku meluncur dengan mobil tua. Karena menggunakan jalur yang gak lazim atau alternatif, maka jurus bertanya di setiap persimpangan menjadi salah satu andalan. Sebelum bertanya tentunya sudah punya ancer-ancer sebagai patoka. GPS tidak selamanya bisa diandalkan, bila yang digunakan jalur alternatif. Jurus bertanya kadang kala juga menyebabkan kita harus balik lagi karena persimpangan terlewat, meski gak sampai 1 km.

Dari Yogyakarta, perjalanan mengarah ke Candi Borobudur. Jadi harus menuju Magelang dulu. Sesampai di Candi Borobudur, bertanya ke penduduk jalan menuju Purworejo. Meski gak perlu sampai Kota Purworejo, namun arahnya saja menuju ke sana (sesuai peta). Tujuan selanjutnya setelah Candi Borobudur adalah Kecamatan Salaman. Sesampai Salaman, patokan selanjutnya adalah Kota Wonosobo. Dengan menggunakan GPS, aku catat beberapa waypoints antara Borobudur dan Wonosobo, yaitu Salaman, Salaman1, Sapuran, Kalikajar, Kertek. Peta ini aku dapatkan dari men-download-nya dari GPS. Garis warna hijau dan biru adalah track yang pernah dilewati. Garis warna merah dan abu-abu adalah track default GPS. Kalau menggunakan Odometer, jarak yang ditempuh mulai dari Hotel Sahid di Sleman, Yogyakarta hingga Dieng adalah 135 km.

Jalan antara Salaman dan Wonosobo berkelok-kelok dan naik turun. Maklum harus melintasi bukit untuk sampi Wonosobo. Sehingga kecepatan kendaraan rata-rata hanya 30 km/jam. Meski jalan hanya selebar 4 meteran, namun karena jarang kendaraan, tidaklah menjadi hambatan. Apalagi jalan berlobang sangat jarang, praktis kondisinya bagus. Dan seperti kebanyakan remote area di Jawa, meski jauh dari pusat kota, tetap saja ada penduduk yang tinggal. Jadi kalau ada masalah, tidaklah sulit meminta bantuan.

Saat memasuki Dataran Tinggi Dieng hari sudah magrib. Terpaksa harus magriban dulu di salah satu Masjid besar di Dieng, meskipun tujuan belum sampai. Satu hal yang menjadi perhatian bagi saya adalah banyaknya masjid. Hampir setiap RT ada masjid atau musholla. Tempat ibadahnya bukan sekedar nya saja, tapi megah, besar, bertingkat dan berarsitektur. Tampaknya masyarakat Dieng cukup makmur dengan hasil pertaniannya.

Kontur tanah Dieng berbukit-bukit. Namun tak ada sejengkal tanahpun yang tidak dimanfaatkan untuk ditanami. Pertanian terasering terlihat dimana-mana. Sejauh mata memandang hanya hijau kebun sayur mayur. Sungguh menyejukkan mata dan tubuh, apalagi memang udaranya sejuk karena berada di ketinggian 2.093 meter di atas permukaan laut (DPL).

Sesampai di terminal Dieng sudah malam sehingga agak kesulitan mencari tempat bermalam. Sebenarnya ada tempat penginapan yang diminati orang -orang bule, namun karena satu dan lain hal, maka diputuskan untuk cari penginapan lain saja. Akhirnya ketemu Home Stay (istilah penginapan di Dieng) Bougenville (0813-2707-2112). Fasilitasnya adalah kamar mandi dalam, air panas dan garasi. Home stay didapat atas petunjuk tukang ojek yang akhirnya menjadi Guide saya saat melihat sunrise dari atas bukit Dieng. Dia menawarkan juga untuk mengantarkan ke lokasi lain seperti Candi Arjuna, Candi Bima, kawah Sikidang, DPT (Dieng Plateu Theater), Museum Kailasa dan Telaga Warna.

Karena esok hari adalah hari raya Idul Adha, maka perlu diatur sedemikian rupa sehingga sunrise bisa dinikmati namun sholah Idul Adha tidak ketinggalan. Sang Guide, Riko, sudah siap sejak jam 0430 untuk mengantarku menikmati sunrise. Dengan menggunakan sepeda motor, akhirnya sampai di lapangan parkir persis di bawah kaki bukit Dieng. Kebetulan bersebelahan dengan danau. Dengan berjalan kaki sejauh 500 meter dari ketinggian 2.133 m hingga 2.230 m, akhirnya sampai juga di posisi yang biasa digunakan untuk melihat sunrise. Ternyata di sana sudah ada turis, termasuk wisman. Dan setelah puas mengambil foto-foto, meski agak susah mendapatkan hasil yang wah, akhirnya aku segera turun agar tidak telah sholat 'Ied. Dengan biaya 50rb rupiah, akhirnya aku bisa menikmati sunrise di Dieng di saat hari yang cerah, padahal musim penghujan.

Sebenarnya aku masih belum puas mengambil gambar saat sunrise dan nuansa danau. Mudah-mudahan di lain waktu bisa mendapatkan gambar yang lebih indah. Gambar sunrise bagusnya diambil jam 5 pagi. Sementara nuansa danau bagusnya diambil di atas jam 10, agar bayangan bukit di atas permukaan danau menjadi terlihat artistik dan simetris. Sebuah jeda waktu yang cukup panjang.

Karena di Dieng ada banyak masjid yang menyelenggarakan sholat 'Ied, saya pilih sholat yang mulainya jam 7-an. Jalan dari lokasi sunrise agak jauh ke penginapan, sekitar 5 km. Dengan terburu-buru dan persiapan seadanya (dengan beberapa lembar koran sebagai sajadah) saya segera menuju lapangan untuk bersama warga menunaikan sholat 'Ied. Kami sholat di lapangan parkir Candi Arjuna. Sang Khotib menjelaskan bagaimana sebaiknya kita bergaul. Dengan siapa bergaul dapat membentuk diri kita. Meskipun udara cukup cerah, tak ada hujan setetespun, namun awan selalu menggelayuti di atas atmosfir Dieng.

Foto-foto silahkan klik di sini.

Waypoints :
Pertigaan ke Borobudur : S 7o 34.035, E 110o 15.524, 341 m DPL
Borobudur : S 7o 36.096, E 110o 12.696, 262 m DPL
Salaman : S 7o 33.655, E 110o 05.243, 453 m DPL
Salaman1 : S 7o 30.054, E 109o 59.894, 576 m DPL
Sapuran : S 7o 27.753, E 109o 58.716, 740 m DPL
Kalikajar : S o 24.777, E 109o 58.287, 832 m DPL
Kertek : S 7o 23.322, E 109o 57.786, 847 m DPL
Garung : S 7o 17.628, E 109o55.342, 1024 m DPL
Kejajar : S 7o 14.872, E 109o 57.182, 1432 m DPL
Dieng : S 7o 12.263, E 109o 54.683, 2093 m DPL
DiengSunrise Parkir : S 7o 14.181, E 109o 55.341, 2131 m DPL
DiengSunrise : S 7o 14.288, E 109o 55.603, 2217 m DPL
KawahSikidang : S 7o 13.203, E 109o 54.321, 2045 m DPL
CandiGatotkaca : S 7o 12.507, E 109o 54.351, 2097 m DPL
CandiArjuna : S 7o 12.326, E 109o 54.405, 2084 m DPL
TelagaWarna : S 7o 12.930, E 109o 54.831, 2082 m DPL

No comments:

Post a Comment