Sebuah pertemuan digelar di Tanah Abang, Jakarta Pusat, awal 1971. Ali Moertopo bersama sejumlah aktivis muda berkumpul membicarakan strategi memenangkan Golkar pada pemilu yang akan digelar Juli tahun itu. Menjadikan Golkar pemenang jelas bukan perkara gampang. Sebagai partai baru, Golkar harus bersaing dengan partai lama, termasuk Partai Nasional Indonesia, yang menjadi penyokong utama Presiden Sukarno. Untuk mempercepat penguatan partai, Ali mengusulkan Golkar memiliki koran sendiri.
Rahman Tolleng, salah seorang aktivis yang hadir dalam pertemuan itu, awalnya menolak. Menurut dia, partai politik membuat media sendiri untuk kepentingan politiknya merupakan gaya Orde Lama—orde yang mereka gulingkan. Rahman, yang pernah mendirikan tabloid Mahasiswa Indonesia, justru berharap Orde Baru mampu membangun pers yang independen. ”Kalau ada koran partai, berarti tidak ada pembaruan di Orde Baru,” ujar Rahman, 75 tahun.
Ali berkukuh meminta Golkar memiliki media. ”Pemilu sudah dekat dan partai butuh koran sendiri," kata Ali. Keputusan sudah final. Rahman melunak, tapi ia mengajukan syarat: koran itu tidak boleh memiliki rubrik editorial. "Tujuan saya untuk menghilangkan opini atau sikap media. Namun itu ditolak juga."
Lalu Suara Karya, harian yang menjadi corong Golkar, didirikan. Menurut Jusuf Wanandi, yang ikut hadir dalam pertemuan itu, Ali Moertopo memberikan uang Rp 50 juta sebagai biaya.
Sumiskun dipilih sebagai pemimpin umum sekaligus penanggung jawab. Posisi pemimpin redaksi dipercayakan kepada Djamal Ali, mantan Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat. Adapun Rahman Tolleng menjadi wakil pemimpin redaksi. Di jajaran redaksi ada sejumlah tokoh, seperti Syamsul Bisri, Sayuti Melik, David Napitupulu, dan Cosmas Batubara.
Mereka bergerak cepat. Hanya dalam tiga hari, persiapan rampung. Suara Karya terbit perdana pada 11 Maret 1971, bersamaan dengan peringatan Supersemar.
Rizal Mallarangeng, dalam Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya, mengatakan Suara Karya memang sejak awal didirikan sebagai media partisan Golkar. Koran itu dirancang untuk memobilisasi opini buat mendukung Orde Baru. ”Ironis sebab koran semacam ini menjadi ciri pers Orde Lama—orde yang justru ingin diperangi," tulis Rizal.
Suara Karya edisi perdana dengan gamblang menggambarkan keberpihakan media itu terhadap Golkar dan Soeharto. Seperempat halaman pertama berisi ucapan selamat atas terbitnya koran itu dari Presiden Soeharto. Edisi itu menurunkan berita utama berisi dukungan atas keabsahan Supersemar yang memberi mandat bagi Soeharto untuk melakukan pembaruan pasca Orde Lama. Tajuk rencana edisi perdana berjudul ”Misi Suara Karya”. Editorial ini berisi penjabaran misi koran sekaligus pernyataan dukungan terhadap Golkar.
Jusuf Wanandi bercerita, edisi-edisi awal Suara Karya dijual Rp 10 per eksemplar. Namun koran itu jarang pembelinya. ”Bagaimana bisa laku? Semua orang tahu itu koran Golkar bikinan Soeharto," kata Jusuf. Kondisi ini membuat Ali Moertopo resah dan mengumpulkan awak redaksi Suara Karya. Dia meminta pendapat bagaimana agar koran itu dibaca banyak orang dalam waktu singkat.
Jusuf mengusulkan Ali agar membuat surat bagi para menteri supaya mewajibkan semua instansi pemerintah berlangganan. Cara itu terbukti manjur. Oplah Suara Karya langsung melonjak menjadi 25 ribu eksemplar. Satu tahun kemudian, oplahnya naik dua kali lipat menjadi 54 ribu eksemplar. Suara Karya kemudian menjadi salah satu koran dengan angka sirkulasi terbesar saat itu.
Sumber : Majalah TEMPO Edisi Khusus, Rahasia-Rahasia Ali Moertopo, 14-20 Oktober 2013. Halaman 48.
No comments:
Post a Comment