Ali Moertopo banyak memberikan masukan bagi arah kebijakan politik Presiden Soeharto. Pandai membaca situasi, jernih menganalisis persoalan, dan jitu merancang taktik untuk kepentingan sang Presiden. Itulah kelebihan Ali di mata teman-teman dekatnya.
Jejak pemikiran Ali itu bisa dilacak pada buku Strategi Pembangunan Nasional. Buku ini ibarat pintu gerbang bagi siapa pun yang ingin memahami landasan dan orientasi kebijakan pemerintahan Orde Baru. Gagasan pemikiran di dalamnya membentang luas, dari persoalan ideologi berbangsa, analisis kondisi masyarakat, sampai strategi kebudayaan. Konsep yang lebih praktis, seperti peleburan partai politik, tata hukum, dan fungsi ganda Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dikupas dalam buku ini.
Semua gagasan itu merupakan antitesis terhadap Orde Lama. Rezim yang bertumpu pada figur Sukarno itu dianggap menyeleweng dari cita-cita kemerdekaan dan gagal menjamin rasa aman. Ali bahkan menuding perselingkuhan Sukarno, lewat ideologi Nasakom, dengan kekuatan Partai Komunis Indonesia sebagai pemicu lahirnya tragedi 1965. Dalam latar sejarah itulah Ali menawarkan pemaknaan ulang ideologi Pancasila dalam praktek bernegara.
Gerakan untuk mengamalkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen—frasa yang pernah sangat populer di sepanjang masa Orde Baru—dalam uraian buku ini punya pijakan cukup dalam. Ali tidak semata memaknainya sebagai norma fundamental dan sistem nilai dalam bernegara. Pancasila, sebagai basis ideologi, mencakup juga pemikiran filsafati yang terkait dengan kajian ontologi (hakikat keberadaan manusia) dan kajian eksistensialisme (relasi subyek di hadapan obyek).
Pembahasan tentang Pancasila pun tidak berhenti pada pendekatan ilmiah. Pada bagian-bagian akhir, perspektif ideologis itu ia hadirkan kembali untuk mendelegitimasi sisasisa kekuatan Orde Lama dan menggalang dukungan aksi tumpas kelor kekuatan PKI. Sejarah mencatat, gerakan ini mendapat dukungan luas dari masyarakat dan berakhir dengan diterbitkannya Ketetapan MPRS tentang Ketertiban dan Keamanan Masyarakat, yang jadi dasar untuk mengikis habis kekuatan PKI.
Pada titik itulah Ali mulai memperkenalkan konsep peran ganda ABRI. Tugas ABRI dalam menjamin stabilitas pertahanan dan keamanan sejak itu bermain di dua kaki: sebagai aparatur pemerintah dan wakil di parlemen. Rekayasa pembangunan itu juga ditopang oleh perombakan struktur ketatanegaraan, dengan menjadikan Golkar sebagai lokomotif pembangunan. Itulah, kata Ali, prasyarat akselerasi, percepatan proses modernisasi.
Sekalipun demikian, Ali meyakini proses modernisasi tidak cukup diselesaikan lewat revitalisasi ideologi dan kelembagaan negara. Kebijakan pemerintah tetaplah perlu mempertimbangkan kondisi-kondisi obyektif yang berkembang dalam masyarakat. Potensi sumber kekayaan alam, karena itu, perlu diinventarisasi. Begitu pula dengan kondisi demografi, struktur perekonomian, serta faktor-faktor strategis yang terjadi di dalam dan luar negeri.
Khazanah pemikiran buku ini pernah dijadikan kertas kerja Presiden Soeharto saat menghadiri rapat paripurna di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 1973. Sejak itu, buku ini dijadikan cetak biru sebagai model Strategi Pembangunan Jangka Panjang.
Buku yang terbit pada 1972 ini mengalami revisi besar-besaran pada 1981. Bagian awal buku ini tetap dipertahankan. Pada edisi revisi, Ali memperlebar topik bahasannya yang meliputi problem strategi pembangunan nasional, lembaga negara dalam Orde Baru, Pemilihan Umum 1971, pembinaan kehidupan politik, strategi kebudayaan, dwifungsi ABRI, pembinaan hukum, dan kerja sama internasional.
Tentu banyak yang ragu jika buku dengan bobot akademis ini dibuat oleh tentara yang hanya lulus bangku sekolah dasar. Ide penulisan buku ini sejatinya merupakan sari pati pemikiran Ali yang tertuang dalam berbagai ceramah, diskusi, dan wawancara. Semua bahan tersebut lantas dikembangkan oleh sejumlah ilmuwan yang tergabung dalam Centre for Strategic and International Studies.
Pendiri CSIS, Harry Tjan Silalahi, mengakui kajian buku ini tidak bisa dikerjakan Ali seorang diri. Sebagai orang yang pragmatis, Ali memerlukan dukungan para cendekiawan untuk bekerja sama dan bertukar pikiran.
Bila dalam politik praktis sepak terjang Ali kadang menyimpang dari konsep ideal yang dirancangnya, itu bisa jadi tak terlepas dari sikap pragmatisnya. “Pak Ali itu penganut paham politik right or wrong is my country,” kata Harry. “Bagi dia, my country sama dengan my president.”
No comments:
Post a Comment