Wednesday, November 20, 2013

Pasang Surut di Lembaga Pemikir

ALI MOERTOPO TURUT MENGGAGAS PENDIRIAN LEMBAGA PEMIKIR CENTRE FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL STUDIES. PENGARUHNYA TERHADAP ORDE BARU MEMUDAR SEIRING DENGAN RENGGANGNYA HUBUNGAN ALI DAN SOEHARTO.

Abdul Rachman Ramly menyapu seratusan tamu yang duduk di hadapannya dengan matanya. Dari atas podium, dia melontarkan senyum. Sebagian hadirin sudah dia kenal lebih dari empat dekade. ”Kita semua berkumpul di sini untuk mengenang Pak Ali,” kata Ramly pada malam itu, Senin, 2 September lalu. Keheningan menyaput ruang pertemuan itu selama beberapa jenak. (Foto : hari jadi CSIS ke-42, 2 September 2013)

Malam itu, mereka berkumpul untuk merayakan hari jadi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang ke-42. Acara itu sekaligus merupakan syukuran atas gedung baru CSIS di Jalan Tanah Abang III, Jakarta Pusat. Sejumlah tokoh nasional, seperti Try Sutrisno, Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, dan Wiranto, hadir. ”Tugas utama CSIS adalah menyampaikan pikiran-pikiran Pak Ali demi negara,” ujar Ramly melanjutkan sambutannya.

Ali Moertopo tercatat sebagai salah satu pendiri dan anggota dewan kehormatan lembaga tersebut. Ramly, mantan perwira Operasi Khusus, pernah menjadi bawahan Ali. Banyak menjalankan misi di luar negeri, Ramly antara lain terlibat dalam operasi mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia. Dia pun pernah menjadi deputi kepala perwakilan diplomasi Indonesia di Singapura.

Gagasan mendirikan CSIS muncul setelah Jusuf Wanandi dan kawan-kawan bertemu dengan Soeharto, tak lama sesudah pelantikannya sebagai Presiden RI kedua pada 1968. Saat itu, Jusuf dikenal sebagai tokoh aktivis anti-Partai Komunis Indonesia.

Jusuf menawari Soeharto membentuk think thank—lembaga pemikir—untuk membantu dia menjalankan pemerintahan baru. Soeharto menyambut gagasan itu— bahkan mengusulkan lembaga itu masuk struktur pemerintahan. Jusuf dan kawan-kawan memilih  mendirikan lembaga ”independen” di luar pemerintah. ”Agar bebas meneliti dan menyampaikan pendapat,” kata Jusuf kepada Tempo, September lalu.

Turut berperan menaikkan Soeharto ke kursi presiden, Jusuf dan kawan-kawan toh menyadari tak selalu mudah bagi orang sipil untuk menyumbangkan gagasan kepada Soeharto, yang kental dengan watak militer. Mereka pun menggandeng dua asisten pribadi Soeharto, Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani, sewaktu mendirikan CSIS pada 1 September 1971. ”Kami think-nya, Pak Ali dan Pak Djono sebagai thank-nya,” ujar Jusuf sembari tertawa.

Pilihan itu ternyata jitu. Ali tidak hanya menjadi pelindung bagi lembaga kajian itu. Dia juga memberikan banyak ”kemudahan” agar CSIS bisa berkembang. Di masa-masa awal, Ali kerap membantu mencari dana untuk menutupi biaya operasional dan kegiatan penelitian. Caranya kadang tidak langsung. Ali cukup meminta tolong kalangan pengusaha yang dekat dengan pemerintah. ”Tolong dibantu,” itulah kata-kata sakti Ali ketika meminta bantuan pengusaha.

Ali juga sempat mengizinkan rumahnya di Jalan Kesehatan III, Jakarta Pusat, menjadi kantor pertama CSIS. Tiga tahun kemudian, CSIS baru bisa berkantor di Jalan Tanah Abang III. Sebelum menjadi kantor CSIS, rumah nomor 27 di Jalan Tanah Abang III itu sering menjadi pusat kegiatan berbagai lembaga yang terkait dengan Golkar.

Misalnya Badan Pemenangan Pemilu Golkar dan Komite Nasional Pemuda Indonesia. Kebetulan, pendiri CSIS pun banyak yang aktif di Golkar. ”Banyak orang terkecoh dalam memahami hubungan CSIS dan Golkar,” kata salah satu pendiri CSIS, Harry Tjan Silalahi.

Dengan Ali sebagai penghubung, berbagai gagasan dan hasil analisis peneliti CSIS, terutama di bidang politik, relatif mudah dicantolkan ke dalam kebijakan Orde Baru. Diminta atau tidak, Jusuf Wanandi rutin mengirimkan ”memo” berupa analisis atas berbagai perkembangan politik langsung ke ruang kerja Soeharto. Ali juga aktif menimba dan menyumbangkan gagasan dalam berbagai pertemuan di CSIS.

Ali Moertopo (kiri) dan Soedjono Hoemardani meletakkan batu pertama perluasan gedung CSIS di Tanah Abang III, September 1982

Salah satu pendiri lembaga itu, Daoed Joesoef, menyebut Ali sosok yang gemar belajar. Dia amat agresif mengajukan pertanyaan dan kerap mengajak para peneliti berdebat. Biasanya, Ali suka datang pada akhir pekan dan baru pulang setelah larut malam. Bila sudah berdiskusi, menurut Daoed, Ali seperti dialiri energi baru.

Untuk menghindari perdebatan dengan Ali, Daoed kadang sampai mengunci dan mematikan lampu ruang kerjanya. ”Saya tahu banyak teman juga bersembunyi di perpustakaan untuk mengelak dari ’gangguan’ Pak Ali,” tutur Daoed kepada Tempo dalam memoarnya.

Memasuki 1980-an, hubungan Ali dan Soeharto merenggang. Ini setali tiga uang dengan hubungan CSIS dan pemerintah Orde Baru: kian berjarak. Pada titik terburuk, Ali dan CSIS pernah dituduh berkomplot menjatuhkan Soeharto. Setelah Ali meninggal, ”pengucilan” atas CSIS berlanjut. Pada 1992, misalnya, CSIS dilarang menghadiri pembukaan pertemuan puncak Gerakan Nonblok. Mereka juga dilarang menghadiri pertemuan pemimpin negara anggota Asia-Pacific Economic Cooperation atau APEC pada 1994.

Dalam memoar politiknya, Shades of Grey, Jusuf menuturkan, para menteri diminta tak berhubungan dengan mereka. Para jenderal yang pernah dekat dengan CSIS pun mulai menjaga jarak. Di masa-masa sulit itu, muncul desas-desus bahwa CSIS akan segera mati karena kehilangan pelindung. Faktanya, hingga kini CSIS terus bertahan. ”Kami tak bergantung pada individu tertentu. Lembaga ini didirikan bukan untuk mengidolakan tokoh tertentu,” ujar Daoed.

Toh, nama Ali Moertopo akhirnya diabadikan sebagai nama satu ruangan di lantai dua gedung baru CSIS. Ruangan Ali bersanding dengan ruangan Soeharto dan Soedjono Hoemardani. ”Kami tetap ingin mengenang jasa mereka di sini,” kata Harry Tjan Silalahi. Harry seolah-olah bernostalgia saat mengajak wartawan Tempo berkeliling menengok ruangan-ruangan itu pada awal September lalu.

No comments:

Post a Comment