Saturday, September 14, 2013

Sharing Pengalaman di China

Setelah melaksanakan workshop selama 5 hari di Wuhan, pada dasarnya sudah tidak ada kegiatan berarti lagi. Namun karena tiket penerbangan sudah terlanjur dipesan untuk 2 minggu, dan nggak tahu cara melakukan re-schedule tiket penerbangan, akhirnya luntang-lantung di negeri orang. Setiap hari hanya mencoba berbagai sarana transportasi, mulai dari bis, kereta, taksi, ojek, hingga metro untuk berbagai jalur. Bolak-balik dari satu ujung ke ujung lain dan kembali ke titik semula. Rasanya sulit berhenti di tengah jalan (turun di tengah perjalanan), karena problem komunikasi dengan awak bis dan juga penumpang lain.

Selama luntang-lantung, dari pada hanya diam, saya mencoba mengamati aktifitas sosial dan budaya masyarakat, termasuk masyarakat muslimnya dan juga sarana transportasi massalnya. Saya juga mencari lokasi-lokasi masjid berdasarkan informasi yang saya dapet di Internet. Namun sayang, tulisan nama masjid dalam bahasa latin sulit difahami oleh penduduk lokal, sehingga ada masjid yang tidak dapat ditemukan hanya gara-gara tidak bisa memahani informasi dalam tulisan latin. Selain kata "mosque" juga mungkin terasa aneh di kuping mereka. Dengan gambar mesjid pun mereka salah mengira, sehingga saya diantarkan ke tempat ibadah lainnya. Dan akhirnya saya harus jalan kaki cukup jauh ke lokasi dimana saya sudah faham alat transportasinya. Pernah menyetop taksi, dan sudah saya berikan alamat dalam tulisan kanji (dibantu menuliskan oleh rekan China), tetep saja para supir taksi tidak tahu tempat dan alamat tersebut. Baru taxi yang ke 4 yang mengerti dan akhirnya bisa mengantarkan saya ke lokasi masjid tersebut. Dan alhamdulillah, jum'atan belum di mulai, baru di awali ceramah. Sempat ketemu di tempat wudhu dengan jamaah orang Semarang dan Pekanbaru yang sudah setahun di Wuhan, China. Namun karena sudah terdengar khotbah, saya buru-buru ke dalam masjid. Eeee... ternyata di Wuhan, sebelum jum'atan diawali dengan ceramah dulu.

Seandainya saja tiket pulang bisa di-reschedule, mungkin kamis atau rabu saya sudah bisa masuk kantor. Mungkin itulah nasib menggunakan maskapai Indonesia yang low cost. Mungkin kalau menggunakan maskapai terkenal, seperti Cathay Pasific, Singapore Airline, Emirates, atau Garuda akan mudah melakukan reschedule.

Hingga saat ini allowlance yang dijanjikan IAEA belum juga cair. Sehingga beli tiket dan paspor pun mengusahan sendiri. Tiket bisa dibeli jika ada paspor. Paspor bisa dipakai jika ada visa China. Saling berkaitan. Buat paspor musti jalur cepat, buat visa musti jalan cepat juga. Untuk jaga-jaga ada kondisi yang tidak diinginkan, span waktu tiket saya perlebar, meskipun pada akhirnya membuat susah sendiri. Soalnya sebagian perjalanan saya tempuh dengan kereta api, agar lebih terjangkau. Kereta api yang gunakan mulai dari Hong Kong - Guangzhou (Canton) - Wuhan. Untuk mencapai lokasi workshop di Wuhan hingga Wuhan saya harus berganti mode transportasi hingga 8 kali. Ada mode bis kota, kereta antar kota, kereta metro, kereta peluru dan taxi. Karena sampai di stasiun wuhan terlalu malam, panitia tidak bisa menjemput, akhirnya menginap di apartemen orang yang tidak saya kenal. Tampaknya apartemen tersebut sengaja untuk disewakan, bukan untuk ditinggali. Tentunya dengan komunikasi yang mengandalkan bahasa isyarat. Sama-sama tidak saling mengerti bahasa masing-masing.
High Speed Train, Guangzhou - Wuhan, G1148. Kecepatan rata-rata 300 km/jam

Berlama-lama di negeri orang ternyata meneydihkan. Tidak bisa mendapatkan makanan halal, tidak bisa berkomunikasi, tidak bisa membaca tulisan. Hampir seminggu tidak ketemu nasi dan sayur-sayuran. Makannya hanya kue, biskuit, sosis, dan mie. Mie saya dapet di rumah makan muslim yang kebetulan ditemui. Sangat sulit menemukan rumah makan macam ini. Itupun dengan komunikasi yang sangat sulit saat memesan makanan yang gambar atau fotonya aneh-aneh. Meskipun terasa nggak enak, coba ditelan karena saya butuh kalori dan energi untuk melanjutkan perjalanan. Sudah tidak berpikir tentang gizi. Yang penting bisa memberi kalori.

Makanan dipesan berdasarkan foto di menu, tidak tahu namanya. Pesen di rumah makan muslim di Wuhan

Berhari-hari hanya terdiam, mau ngobrol tidak bisa, karena berbeda bahasa. Mau membaca koran atau majalah, semuanya ditulis dalam bahasa kanji. Nonton TV, semua menggunakan bahasa China. Komunikasi akhirnya dengan bahasa tulisan. Bahasa Inggris yang saya ucapkan tidak mampu didengar oleh mereka. Dan bahasa Inggris mereka juga sulit saya fahami. Tampaknya dialek kita yang berbeda-beda. Tulisannya sama, namun pengucapannya berbeda. Dalam beberapa situasi, komunikasi dalam bahasa tulisan, seperti bahasanya para penyelam saat di dalam air atau bahasa antar pilot yang beda frekuensi radio. Cara ini setidaknya cukup berhasil. Yaitu saat saya beli nomor ponsel baru dengan nomor China Mobile. Saya berharap dengan nomor lokal, biaya komunikasi bisa lebih murah. Komunikasi dengan tulisan lebih banyak gagalnya, misal saat pulsa habis dan tidak tahu apa istilah untuk nambah pulsa. Lain aldang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Untuk memperlancar bahas tulisan, kemana-mana saya membawa buku dan pulpen. Tulisan harus dengan huruf besar (uppercase) dan tegas. Tulisan dengan huruf kecil (lowercase) dan jelek, membuat mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Cara berkomunikasi yang tidak lazim, "bahasa tulisan", namun cukup membantu.

Setelah bosen muter-muter di Wuhan, akhirnya pindah ke Hong Kong. Di Hong Kong agak lumayan, mulut mulai bisa dipakai dan tidak kelu lagi. Namun kotanya sangat ramai, dan sibuk orang jalan kaki. Sedikit-sedikit bersinggungan dengan orang lain yang sedang berjalan. Jalan saja repot banget. Membuat jalan dan jalan-jalan tidak nyaman. Keadaan yang membuat makin penat, sementara waktu untuk pulang tidak bisa diubah. Tinggallah menerima nasib. Di Wuhan dengan 365 Yuan, sudah dapet hotel bintang 4, namun di Hong Kong, dengan HK$ 380 dapet melati dan nggak dapet sarapan. kamarnya hanya 2,5 x 2,5 meter. Mungkin karena di daerah Mongkok Kow Loon kali ya... Malam terakhir mendingan nginep di bandara aja, lagi pula check-in nya jam 3 pagi. Mana ada bis atau kereta yang beroperasi di jam segini.

Suasana Bandara Hong Kong dini hari. Kiraiin, gue doang yang tidur di bandara.

Untuk bisa punya tiket penerbangan JKT - HK - JKT, butuh paspor dan visa. Supaya dapet tiket murah, beli jauh-jauh hari. Karena waktu berangkat segera menjelang, terpaksa buat paspor dan visa jalan cepat. Paspor habis 850rb dan visa habis 1,1jt. Buat paspor 2x datang ke kantor imigrasi dan buat visa 2x datang ke perwakilan kedutaan China di Jakarta. Belum lagi ngurus paspor dinas, 4x datang ke kantor pusat dan Kementerian Luar Negeri. Kebetulan ada masalah buku paspor dinas di Kemenlu. Hanya yang urgen yang akan dicetak. Sebagian besar buku sudah dipesan TNI. Banyak juga yang gagal berangkat gara-gara paspor dinas tidak terbuat atau tercetak. Untuk meyakinkan urgensinya ke pihak Dirjen Protokol dan Konsuler Kemenlu, akhirnya saya diminta mendampingi orang BKHH ke Kemenlu. Berbahagialah yang tidak harus susah payah dan bolak-balik ke Kemenlu.

Karena tiket maskapai Garuda mencapai 9 jt, saya akhirnya pilih maskapai Mandala yang hanya 4 jt. Meskipun resikonya sulit untuk melakukan re-schedule. Saya pernah pakai maskapai Cathay Pasific, sekitar 6 tahun yang lalu ke tujuan JKT-HK PP. Saat ada satu dan lain hal dan saya harus melakukan re-schedule, prosesnya begitu mudahnya. Namun harga tiket Cathay Pasific tidak jauh berbeda dengan Garuda. Ada harga ada rupa, kata orang Betawi.

Mudah-mudahan dalam hitungan jam bisa segera menghirup udara Bogor dan bisa ketemu keluarga di rumah. Dan semoga pengalaman ini tidak akan terjadi pada renak-rekan sekalian.

Saat ini sedang dapet akses WiFi gratis di Bandara HKIA. Meskipun berangkatnya besok pagi, namun untuk alasan tertentu sudah stand by di Bandara sejak 18 jam sebelumnya (12.00 siang)

Foto : Yellow Crane Tower di Wuhan, Propinsi Hubei, China.

No comments:

Post a Comment