Sunday, November 24, 2013

Tulang Babi di Rumah Nomor 18

ALI Moersalam masih mengingat satu kejadian pada 1970-an. Di rumah Ali Moertopo di Jalan Matraman Raya Nomor 18, Jakarta Timur, Soedjono Hoemardani menegur sedikit keras sahabatnya itu  soal sebongkah tulang babi yang tergantung di salah satu sudut rumah. Si empunya rumah percaya tulang babi bisa menjauhkannya dari bahaya.

Soedjono, yang dikenal sebagai penganut aliran kebatinan dan penghayat spiritual, pun menganggap tulang babi tak baik bagi Ali Moertopo. ”Copot itu. Itu tidak hanya menjauhkan mara bahaya, tapi malaikat juga tidak mau masuk ke rumah kamu,” ujar Ali Moersalam menirukan ucapan Soedjono kepada kakaknya, dua pekan lalu. Ali Moertopo mengikuti nasihat Soedjono dengan membuang tulang babi itu.

Ali Moertopo dan Soedjono selama ini dikenal sebagai dua orang kepercayaan Soeharto ketika membangun Orde Baru. Tapi tak banyak  orang yang mengetahui kedekatan mereka di luar urusan pekerjaan. Menurut Moersalam, Soedjono dan Ali memiliki hubungan khusus. ”Keluarganya juga dekat. Mereka sudah seperti saudara,” ujar pria 81 tahun itu kepada Tempo.

Lucky Ali Moerfiqin, anak kedua Ali Moertopo, menuturkan hubungan ayahnya dan Soedjono seperti kakak-adik. Soedjono beserta istri dan 12 anaknya kerap bertandang ke rumahnya untuk berdiskusi tentang pelbagai hal. Mereka berbincang berdua dan membiarkan anak-anak bermain. Istri mereka kerap pergi bersama karena sama-sama aktif di Yayasan Ria Pembangunan—yayasan istri pejabat Orde Baru yang dibentuk Ibu Tien Soeharto. ”Saya dulu sunatannya bareng sama anak Pak Soedjono, Mas Tony,” katanya.

Ali juga kerap meminta nasihat Soedjono jika hendak menggelar hajatan penting, seperti pernikahan atau sunatan. Menurut Lucky, ayahnya sering meminta Soedjono menghitung tanggal baik untuk hajatan. ”Sewaktu saya dan kakak saya menikah, Pak Soedjono yang menghitung tanggal baik, syaratnya apa saja.”

Mereka sudah bersahabat sejak sama-sama bertugas di Divisi Diponegoro, Semarang, pada akhir 1950-an. Soeharto, yang masih berpangkat kolonel, menjabat panglima divisi itu. Soedjono sudah bertugas di sana sejak awal kemerdekaan dan menjabat Kepala Urusan Keuangan Teritorial IV pada 1958. Sedangkan Ali baru pindah ke Semarang pada akhir 1958, setelah menumpas pemberontak an Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Ali, yang berpangkat kapten, menyandang jabatan Deputi Asisten V Divisi Diponegoro. Keahlian Ali dalam bidang operasi dan intelijen serta keahlian Soedjono dalam mengurus bisnis dan keuangan membuat mereka menjadi orang kepercayaan Soeharto.

Namun, ketika Soeharto ditarik ke Jakarta pada 1959, hanya Ali yang dibawa. Di Jakarta, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Abdul Haris Nasution menugasi mereka membentuk Korps Tentara Ke I/Cadangan Umum Angkatan Darat (Korra-I/Caduad), yang kemudian dikenal sebagai Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Soedjono baru menyusul setahun kemudian, setelah Nasution mengangkatnya sebagai Asisten Deputi Keuangan Kepala Staf Angkatan Darat.

Foto : Soedjono Hoemardani di DPR, Jakarta, 1979. DOK. TEMPO/BUDIMAN S HARTOYO

Menurut Moersalam, hubungan sepasang sahabat ini pun makin erat, terutama setelah mereka diangkat sebagai staf pribadi Soeharto pada pertengahan 1966. Jabatan itu kemudian berubah menjadi asisten pribadi pada 1968. Soedjono menjadi asisten bidang ekonomi, sedangkan Ali bidang politik.

Keduanya juga dikenal sebagai pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), yang menjadi lembaga think thank Orde Baru. Moersalam mengatakan keberhasilan Soedjono mendatangkan pengusaha Jepang berinvestasi di Indonesia tak lepas dari peran Ali Moertopo, yang bergabung dalam Indonesia Lobby. Tim ini bertemu dengan Soedjono dan Menteri Luar Negeri Adam Malik pada 1966 di Jepang. Salah satu anggota tim lobi adalah Nakajima Shinzaburo, pengusaha yang pernah mendukung pemberontakan PRRI di Sumatera Barat yang ditumpas Ali.

No comments:

Post a Comment