Sunday, November 24, 2013

Penumpang Gelap Malari

ALI MOERTOPO DITUDING MEREKAYASA PERISTIWA MALARI UNTUK MENJEBLOSKAN KELOMPOK YANG KRITIS TERHADAP PEMERINTAH. DIWARNAI PERSAINGAN DENGAN SOEMITRO DAN PEMBELOTAN ANAK DIDIKNYA SENDIRI.

SAMBIL menenteng pistol, Mayor Jenderal Ali Moertopo bersiap menemui massa mahasiswa. Mereka berteriak-teriak dengan nada mengejek di depan kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Tanah Abang III, Jakarta Pusat, pada 15 Januari 1974. Kepala Operasi Khusus yang juga asisten pribadi Presiden Soeharto itu ngotot ingin menjumpai Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, pemimpin demonstran. ”Memangnya saya takut?” katanya.

Para mahasiswa itu menuding Ali dan asisten presiden lainnya sebagai antek Jepang. CSIS menjadi sasaran karena lembaga pemikir yang didirikan Ali Moertopo dan Mayor Jenderal Soedjono Hoemardani pada 1971 itu disebut-sebut sebagai otak dan pelobi utama di balik kebijakan ekonomi Soeharto, yang cenderung lunak terhadap korporasi asing.

Ali marah mendengar ejekan itu. Jusuf Wanandi, yang bekerja di CSIS, berusaha menyabarkannya. ”Bukan begitu, Pak. Saya dulu pernah di posisi mereka, dan mereka sangat kuat. Kita bisa digilas,” ujarnya. Peristiwa itu diceritakan Jusuf kepada Tempo pada Oktober 2010, dan diulang pada September lalu.

Unjuk rasa itu memanfaatkan momen kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Sebagian besar protes mahasiswa menyuarakan anti-modal asing. Pada hari yang sama, di beberapa sudut Jakarta, sekelompok orang membakar dan menjarah toko milik warga keturunan Cina serta merusak pabrik Coca-Cola dan dealer mobil Toyota. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari atau disingkat Malari.

Dalam buku Hariman dan Malari: Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing, disebutkan bahwa sepanjang 1970-1974 hampir tidak pernah sepi dari aksi unjuk rasa. Berbagai demonstrasi itu dilatari ketidakpuasan yang beragam. Arief Budiman pada Agustus 1970 mendirikan Komite Anti Korupsi. Ada juga gerakan untuk tidak ikut memilih menjelang Pemilihan Umum 1971, yang dikenal sebagai Golongan Putih alias Golput.

Selanjutnya, pada 1972, beberapa aktivis mengusung tema menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) senilai Rp 10,5 miliar. Proyek yang digagas Ibu Negara Tien Soeharto ini ditentang karena pemerintah sedang dililit utang. Ali dan Soedjono pasang badan membela Tien. Adapun Jenderal Soemitro, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), menilai proyek ini tidak tepat, tapi tidak melakukan protes secara terbuka.

Pada akhir 1973, demonstrasi anti-TMII meredup. Gelombang protes bergeser ke isu penolakan Rancangan Undang-Undang Perkawinan, yang dimotori organisasi Islam, dan anti-modal asing, yang diusung komite mahasiswa.

Soeharto dan Ali tahu betul potensi kelompok protes itu bisa membesar. Melalui Operasi Khusus (Opsus), Ali giat menjalankan politik wadah tunggal bagi kalangan terdidik. Mereka menyasar kelompok mahasiswa, wartawan, pegawai negeri, hingga istri pegawai negeri dan militer.

Foto : Hariman Siregar (kanan) bersama mahasiswa berdialog dengan Presiden Soeharto di Gedung Bina Graha, Jakarta, 11 Januari 1974. DOK. TEMPO/SYAHRIR WAHAB 

Operasi itu dimulai dengan mendirikan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Tujuannya mengendalikan Angkatan 1966, yang banyak berasal dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Ali juga mendorong berdirinya National Union Student (NUS), yang diharapkan menyedot dewan mahasiswa dari semua kampus. Hariman Siregar digadang-gadang menjadi pemimpin NUS. Masih dalam buku Hariman dan Malari, menurut Gurmilang Kartasasmita, temannya di Fakultas Kedokteran UI itu terlihat makin lengket dengan kelompok Ali dan CSIS.

Pembentukan NUS tidak mulus karena ditentang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang memiliki banyak kader di dewan mahasiswa. Ali mengubah taktik dengan sasaran menguasai organisasi mahasiswa berlatar profesi. Sebagai proyek percontohan, Hariman diusung menjadi pemimpin lewat Kongres Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia (IMKI) di Makassar.

Pola baru itu sukses. Hariman terpilih sebagai Sekretaris Jenderal IMKI. Judilherry Justam, aktivis HMI sekaligus teman Hariman di Kedokteran UI, membenarkan ada peran Ali dalam Kongres. Menurut Judilherry, posisinya sebagai pesaing kuat Hariman dalam pemilihan itu pun hasil rekayasa Ali. Kendati mengubah sasaran, Gurmilang melanjutkan, Opsus tetap berencana merebut UI dari dominasi HMI.

Pada 1973, salah satu agenda penting mahasiswa UI adalah pemilihan Ketua Dewan Mahasiswa. Dalam buku Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: Dari Pemilu sampai Malari, yang ditulis Heru Cahyono, disebutkan ada peran Kelompok 10 di situ. Anggotanya antara lain Aulia Rahman, Posdam Hutasoit, Freddy Latumahina, dan Leo Tomasoa. Nama-nama itu dikenal sebagai ”binaan” Ali Moertopo. Kelompok 10 sukses mengantarkan Hariman menjadi Ketua Dewan Mahasiswa, mengalahkan Ismeth Abdullah, calon HMI.

Foto : Peristiwa Malari di Jakarta, 15 Januari 1974. DOK. TEMPO 

Foto : Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro dan Brigadir Jenderal Herman Sarens Sudiro menenangkan massa dalam Peristiwa Malari di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, 1974. DOK.TEMPO/ SYAHRIR WAHAB

Tapi, setelah terpilih sebagai ketua, Hariman mulai menunjukkan gelagat membandel dengan memilih Judilherry sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa UI. Hariman melawan keinginan Ali, yang hendak menyingkirkan HMI. Di bawah Hariman, Dewan Mahasiswa UI makin keras mengusung isu anti-modal asing. Hariman makin sulit dikendalikan setelah terang-terangan menyerang Ali, Soedjono, asisten pribadi presiden, dan CSIS.

Kolonel Aloysius Sugiyanto, anak buah Ali, membenarkan adanya pembelotan Hariman. ”Dia mbalelo, malah mendemo Ali di Tanah Abang,” ujarnya kepada Tempo, September lalu. Menurut Heru Cahyono, Opsus kemudian menggerakkan Kelompok 10 untuk menyebarkan mosi tidak percaya atas kepemimpinan Hariman.

Akhir 1973, suhu politik memanas. Soemitro mulai berkeliling kampus-kampus, kecuali UI—karena tahu betul kampus jaket kuning itu sedang digarap Opsus. Soemitro makin waspada setelah muncul desas-desus bakal terjadi kerusuhan yang digalang dirinya. Dalam buku biografinya yang ditulis Ramadhan K.H., Soemitro merasakan kejanggalan dengan kehadiran Ali dan Soedjono di kantornya menjelang Peristiwa Malari. ”Bahkan Soedjono menginap bersama saya,” katanya.

Upaya Soemitro menjaga keamanan jebol juga. Demonstrasi mahasiswa 15 Januari 1974 ditunggangi kelompok penyusup yang melakukan kerusuhan. Belakangan penumpang gelap itu diketahui dari kelompok preman hingga aktivis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang didrop pada sore hari dari luar Jakarta.

Dalam buku Hariman dan Malari, yang memuat kesaksian Soemitro, aksi penunggangan didalangi jaringan intelijen lepas Opsus, CSIS yang berjaringan Opsus, dan beberapa tokoh Gabungan Usaha Pembaruan Pendidikan Islam (GUPPI). Komando operasi pembakaran disebut-sebut dipimpin Bambang Trisulo, anggota Opsus.

Setelah pecah Malari, Soeharto melalui kaki tangan perwiranya punya seribu alasan melakukan penangkapan. Anehnya, mereka yang ditangkap tidak mesti berhubungan dengan Malari. Mereka yang giat memprotes pemerintah sejak 1970 hingga 1974 juga dijaring. Kelompok Partai Sosialis Indonesia dan pendukung Sukarno, bahkan mereka yang mendukung Soeharto pada 1966, ikut dibabat.

Proses penangkapan terpecah antara Soemitro dan Ali, yang sudah lama berseberangan. Kubu Soemitro berusaha menangkapi pendukung Ali, begitu pula sebaliknya. Untuk keperluan pemeriksaan, tahanan Malari dibagi dalam tiga kelompok dengan kode sandi masing-masing. Kelompok mahasiswa dan sosialis dimasukkan ke Grup Kelinci, kelompok Sukarnois ke dalam Grup Geladak, dan kelompok Islam dimasukkan ke Grup Kembang Sepatu. ”Saya lihat dan bertemu dengan mereka. Alasan penangkapannya aneh-aneh,” ujar Hariman dua pekan lalu.

Dampak Malari menjalar juga di tubuh militer. Soemitro menjadi korban. Jabatannya sebagai Panglima Kopkamtib dilucuti. Mayor Jenderal Sutopo Juwono, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), juga dilengserkan. Kedua jenderal ini disebut-sebut satu kubu melawan Ali. Soetopo ”dilempar” menjadi duta besar di Belanda. Adapun Soemitro menolak tawaran sebagai duta besar di Amerika Serikat.

Di kubu Ali, Soeharto hanya membubarkan institusi asisten pribadi. Ali sendiri naik pangkat menjadi letnan jenderal dan diberi jabatan Wakil Kepala Bakin. Pasca Malari, gelombang protes berhenti bak ditelan bumi. Peristiwa Malari dimanfaatkan dengan sukses untuk menyikat kelompok yang berpotensi merongrong kekuasaan.

Sumber : Halaman 60-61.

No comments:

Post a Comment