Monday, October 08, 2012

Career By Design


Dengan sisten 'career by design', personil berkualitas akan terus dipantau dan diberi arahan dengan penugasan, jabatan, serta lingkungan kerja. Tujuannya untuk mendorong personil-personil terpilih mencapai puncak karier tertinggi. Sistem ini akan efektif jika kesempatan penugasan, jabatan dan lingkungan kerjanya luas. Jika kesempatan penugasan dan formasi jabatan (struktural) sangat terbatas, yang terjadi adalah pendekatan subyektifitas. Subyektifitas yang berbasis pertemanan sejak lama, orang yang pernah berjasa secara pribadi kepada si pengambil kebijakan (bukan berjasa kepada institusi), atau orang yang tidak pernah menyikiti hati si pengambil kebijakan. Tidak tertutup kemungkinan berbasiskan dikenal baik oleh si pengambil kebijakan.

Dugaan saya, cara subyektifitas ini adalah cara termudah, tidak memerlukan data porto folio yang kadang kala personalia tidak mampu menyediakan data yang akurat. Udah gitu, kemampuan daya ingat orang tua (sebagian pengambil kebijakan) yang kian meluruh menyebabkan banyak penugasan yang menguap begitu saja dari memori mereka. Jika saja catatan penugasan tersebut dikemas secara apik oleh personalia, obyektifitas akan bisa dikedepankan. Di sini peran personalia dengan catatan rapinya menjadi penting untuk mendapatkan personil terbaik untuk memimpin institusi.

Sistem 'career by design' jelas tidak bisa diterapkan secara berjenjang. Jenjang terendah yang bisa mengawal sistem ini, menurut pandangan saya adalah setingkat eselon II atau kalau di TNI/Polri setingkat Danyon/Kapolres. Eselon dibawahnya tidak banyak memiliki kewenangan untuk mempromosikan seorang personil, kesempatan yang terbuka adalah memberi ruang penugasan dan lingkungan kerja yang sesuai. Ketika sudah menemukan personil yang berkualitas, saat promosi yang menentukan adalah eselon II. Tentu ini akan sangat menyakitkan bagi si personil. Sudah banyak menyelesaikan penugasan, namun saat promosi terlewat atau terlupakan oleh subyektifitas si pengambil kebijakan.

Saya hanya bisa memberi kesempatan mengikutsertakan dalam berbagai pelatihan dan penugasan, mencatat inovasi dan kreasinya yang divalidasi melalui hasil kerja, mengamati dan membentuk sistem nilai yang dianut, mengembangkan soft skill. Meskipun tidak bisa memberi kesempatan promosi, saya berharap agar semua yang didapatkan bisa membesarkan jiwanya sehingga dimanapun berada, ia akan tetap bermanfaat bagi sekelilingnya. Ia selalu dibutuhkan oleh lingkungannya.

Tidak ada yang perlu dipersalahkan jika kondisi ini terjadi, yang perlu dilakukan adalah bekerja bersama untuk membenahi sistem dan mencari solusi teradil. Saling menyalahkan dan mencari kambing hitam hanya akan merugikan personil-personil terbaik untuk mendapatkan hak-nya. Konsep yang terlalu tinggi di awang-awang juga akan menyebabkan implementasi menjadi terkatung-katung dan sangat merugikan banyak orang.

Yang sudah cukup baik adalah sistem fungsional, semua hasil kerja sudah terukur dan ada nilainya. Ini sangat bertolak belakang dengan struktural. Sayangnya fungsional belum bisa mendongkrak kerjasama tim. Kerja tim hanya menyebabkan nilai yang seharusnya ia dapatkan menjadi berkurang separoh. Tapi mereka lupa, kerja tim justru bisa mengurangi waktu penyelesaian tugas hingga separoh.

Yang kadang kala menggelikan adalah karir seorang personil bisa ditentukan oleh bagaimana cara ia berpakaian. Padahal selama cara berpakaiannya tidak melanggar norma-norma kepatutan, tidak ada hak orang lain untuk memvonis. Padahal cara berpakaian sangat ditentukan dengan lingkungan kerjanya. Bisa jadi personil yang penampilannya sederhana mampu memberikan kontribusi dan solusi terbaik kepada institusinya. Ketimbang personil yang hanya memikirkan penampilan semata, pencitraan belaka, tidak memikirkan mission accomplish.

No comments:

Post a Comment