Sunday, April 19, 2015

Sistem Satelit Non-GSO, masa depan persatelitan

Hampir 20 tahun lalu Indonesia ikut mendukung agar Teledesic, suatu sistem satelit Non-GSO diberi alokasi pada pita Ka (Ka Band) di WARC-1995 (World Administrative Radio Conference), yang perjuangannya diteruskan WRC-1997. Sistem AS ini mendapat tantangan khususnya dari negara-negara Eropa, dan negara-negara berkembang dan Indonesia khususnya berada di tengah-tengah. Dan kita mendukung sistem NGSO yang disebut Internet in the sky saat itu. Sasarannya adalah daerah pedesaan yang sulit dijangkau jaringan terestrial.

Singkat cerita sistem AS yang didukung praktis semua negara berkembang ini, berhasil disepakati.

Sayangnya sistem satelit NGSO dengan rencana ratusan satelit kecil-kecil (dengan berat hanya sekitar 5 kg) ini setelah dihitung-hitung akan kalah bersaing dengan sistem-sistem terestrial GSM yang berkembang dengan cepat dan yang lebih murah biaya jangkauannya. Oleh karena itu sistem yang berbiaya milyaran USD dengan pemegang Bill Gates, dan putera mahkota raja Arab Saudi saat itu, terpaksa ditutup, dibubarkan, untuk mencegah kerugian lebih besar.

Nah, kini dengan perkembangan teknologi terakhir muncul lagi rencana untuk meluncurkan sistem NGSO pitalebar, a.l. LEOSAT seperti bisa diikuti dalam majalah Satellite Evolution di bawah ini. (lihat hal. 38).

http://www.satellite-evolution.com/magazines/EMEA-March-April-20151/

Dalam tulisan-tulisan sebelumnya saat menyinggung terbatasnya orbit satelit GSO, khususnya pita-pita  L, S, C dan Ku, maka bijaksana bagi kita untuk memikirkan NGSO, kalau perlu dengan negara-negara lain, karena memang modalnya besar selain cakupannya global, sayang apabila hanya Indonesia saja. Kita saat ini merencanakan untuk IMT pitalebar, dan didukung Perpres 96 tahun 2014 tentang Rencana Pitalebar Indonesia (RPI). Dan sistem NGSO ini adalah mitra IMT untuk daerah-daerah yang masih terlalu mahal untuk dijangkau IMT terestrial, misalnya di tengah-tengah Kalimantan, Maluku, Papua, dsb.

Ini suatu pemanasan sehingga Indonesia tidak usah kaget apabila suatu dalam waktu yang tidak terlalu lama harus memutuskannya kembali. Selain itu juga persiapan bagi industri dalam negeri kita, karena terminal-terminal dengan diameter antena sepanjang 20 cm pasti dapat dibuat di dalam negeri.

Dan usaha untuk sinergi (keterpaduan) kekuatan puluhan UKM (Usaha Kecil Menengah) manufaktur yang dibahas dalam MUNAS MASTEL kemarin yang dibuka oleh Menkominfo, sudah waktunya untuk segera direalisasikan, agar suatu saat dalam waktu dekat Indonesia memiliki industri manufaktur dalam negeri yang berskala besar.

Sumber : Arnold Ph. Djiwatampu melalui milis IndoWLI, Tue, April 14, 2015 8:20 pm

Net Neutrality, benarkah?

Ya, ya, kita sering dengan dan bangga bahwa kita menerima Kenetralan Jaringan (net neutrality) yang sering digembar-gemborkan. Dan Ketua Umum Mastel perioda yang lalu, saat memaparkan pertanggungan jawabnya dalam MUNAS MASTEL kemarin, mengulangi kembali keberhasilan kenetralan jaringan dengan dihapuskan standardisasi WiMax 802-16d, sehingga WiMax 802-16e, dst, juga bisa dibangun. Ya, sudahlah yang sudah lalu. Bahkan yang 16e dengan cepat sudah ketinggalan zaman dengan adanya 16m, dan inipun sudah ditinggalkan karena sistem GSM yang sifatnya lebih evolusioner berjenjang sudah sampai pada LTE (Long Term Evolution) yang digunakan untuk 3G, 4G dst.

    [Saya masih berpegang pada apa yang dicanangkan oleh pak Soekarno
    Abdulrachman, mantan Dirjen Postel, dan juga Ketua Umum Mastel,
    setelah beliau menyelesaikannya sebagai Dubes RI di Turki, bahwa
    negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak mungkin mengikuti semua
    derap teknologi telekomunikasi (sekarang TIK). Indonesia akan
    terpontal-pontal mengikutinya, lihat saja sekarang, teknologi yang
    satu belum tuntas, dan belum balik modal sudah harus menggunakan
    yang berikutnya. Jadi kata beliau, suatu saat yang ditentukan
    sendiri, Indonesia harus membekukan (freeze) teknologinya, dan
    setelah itu meloncat ke teknologi dua tingkat di atasnya. Jadi
    seperti dahulu WiMax-16d langsung ke yang 16m atau LTE yang saat itu
    sudah di depan mata. Apabila mengikuti yang disodorkan vendor, itu
    sudah terlambat]


Ya, sebelum kita berbangga-bangga dengan kenetralan jaringan, sebaiknya kita fahami dahulu untung-ruginya. Pertanyaan pertama dan utama, apakah Indonesia mau membangun industri dalam negeri (IDN) sendiri atau hanya mau menjadi pasar? Apabila ingin membangun IDN maka pada awalnya perlu dibuat standar sehingga pertama menguntungkan IDN dari serangan impor luar. Standar nasional adalah penghalang impor yang tidak terkena ketentuan WTO! Mengapa? Oleh karena kita tidak menghalangi barang impor manapun, tetapi barang impor global yagn harganya amat murah, harus dirubah mengikuti standar Indonesia, dan ini akan menyebabkannya mahal. [Sebaliknya apabila hanya mau cari yang termurah, dan berlabel internasional, dsb, dan tidak berambisi IDN, ya, mudah, terapkanlah kenetralan jaringan. Jadi oerator boleh pilih teknologi mana saja]

Ya, Indonesia harus memutuskan dahulu perangkat mana yang akan dikembangkan dan kemudian khususnya pada awalnya mau dilindungi. Membuat standar nasional (yang akan menjadi SNI, dan bukan hanya standar POSTEL yang tidak atau belum disahkan Badan Standardisasi Nasional atau BSN) bukan berarti harus menyimpang dari standar ITU. Standar ITU hanya mengatur karakteristik komunikasi, dan bukan misalnya bagaimana menyusunnya, apalagi bentuk piranti kerasnya. Tetapi cukup untuk membuat suatu perangkat lebih mahal apabila harus dirubah.

Lihat saja apabila kita ke Swiss, kontak listriknya demikian khusus sehingga tidak bisa mengimpornya dari negara-negara Eropa bersebelahan seperti Perancis yang standar Eropa, dan bisa lebih murah.

Jadi sekali lagi hati-hati dengan berbangga kenetralan jaringan, apabila tidak ingin kehilangan peluang IDN, apalagi yang berskala besar.

Contoh bahwa kenetralan jaringan bahkan di AS yang diputuskan FCC sekalipun, diserang dan digugat habis-habisan oleh semua produsen TIK seperti di bawah ini.

http://telecoms.com/416182/us-telcos-file-lawsuit-against-fcc-net-neutrality-ruling/

Sumber : Arnold Ph. Djiwatampu melalui milis IndoWLI, Tue, April 14, 2015 9:05 pm

2 comments:

  1. kalau saya melihat yang prospek adalah MEO ( medium earth orbit) seperti yg dilakukan o3b.
    http://o3bnetworks.com/

    ReplyDelete
  2. Bisa saja MEO dengan ketinggian sekitar 8000-10.000 km, dengan satelit lebih sedikit yang lebih besar dibandingkan LEO (150-2000 km). Lebar pitanya akan lebih terbatas, serta berkas (beam) cakupan, terminal antena, dan daya lebih besar. Saat ini yang digelar LEOSAT (seperti Teledesic) bisa dijinjing untuk Laptop, dan kapasitas 1.2 Gbps.
    Iridium yang didirikan pertengahan th 90, kemudian bangkrut, dibeli murah, dan saat ini masih beroperasi, juga LEO.
    APhD

    ReplyDelete