Letnan Kolonel Ali Moertopo menyorongkan dua lembar surat kepada orang kepercayaannya, Mayor Aloysius Sugiyanto. "Tolong cepat gandakan," kata Sugiyanto, kini 85 tahun, menirukan perintah Ali yang disampaikan di tengah rapat 11 Maret 1965 malam di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat itu, tiga pekan lalu.
Rapat dipimpin Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto. Menurut Sugiyanto, Ali lalu meneruskan perintahnya, "Segera kembali!"
Sugiyanto mengingat, surat itu baru beberapa jam sebelumnya diterima Soeharto dari tiga jenderal yang baru pulang dari Istana Bogor, yaitu Brigadir Jenderal Muhammad Yusuf, Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud. Mereka baru saja menghadap Presiders Sukarno.
Menerima surat - belakangan dikenal sebagai Supersemar - Soeharto mengumpulkan tokoh-tokoh politik di Markas Kostrad. la mengenakan seragam loreng dan syal kuning di lehernya. Suaranya serak, menjelaskan isi surat, termasuk rencananya membubarkan Partai Komunis Indonesia.
Dikawal polisi militer, Sugiyanto berkeliling Jakarta menggunakan jip, mencari studio foto yang masih buka. Tugas sulit, karena malam telah larut dan di Ibu Kota diberlakukan jam malam. "Zaman itu belum ada mesin fotokopi. Adanya stensilan atau foto," ujar Sugiyanto, yang pensiun dengan pangkat terakhir kolonel.
Perwira. intelijen Kostrad itu pun memutuskan menggedor rumah Jerry Albert Sumendap, pengusaha asal Manado, Sulawesi Utara, di Jalan Lombok, Menteng, Jakarta Pusat. Jerry, yang belakangan mendirikan Bouraq Airlines, dikenal Sugiyanto bisa diandalkan dalam situasi darurat. Sering ke luar negeri, Jerry punya banyak peralatan canggih pada masa itu. "Beruntung, Sumendap ada di rumah malam itu," kata Sugiyanto.
Di ruang tamu rumah pengusaha perkapalan itu, Sugiyanto menempelkan dua lembar surat ke dinding. Mereka berembuk cara menggandakan dokumen dalam waktu cepat. Semula dokumen akan difoto dengan kamera biasa. Tapi Sugiyanto menolak karena butuh waktu untuk cuci-cetak film. Adapun perintah Ali Moertopo, is harus pulang segera.
"Sumendap berpikir menggunakan kamera Polaroid miliknya," ujar Sugiyanto lagi. Pengusaha perkapalan yang dikenal sebagai aktivis Permesta itu memiliki kamera Polaroid kecil. Lima kali jepretan, tiga di antaranya berhasil bagus. Sugiyanto mencopot surat dari dinding. Ia memasukkan surat asli dan fotonya ke dalam satu map.
Di ruang rapat Kostrad, Sugiyanto mengantarkan map itu ke Brigadir Jenderal Soetjipto, Ketua G-V Koti atau Komando Operasi Tertinggi. Di ruang rapat itu masih ada Soeharto. Sugiyanto melapor ke Ali Moertopo. "Setelah itu, saya tidak tabu dimana Supersemar," kata Sugiyanto.
Setelah 39 tahun, dalam satu seminar di Hotel Ambhara, Jakarta, Sugiyanto baru tahu pada malam itu Soetjipto menelepon Letnan Kolonel Sudharmono. Ia minta disiapkan rancangan surat keputusan pembubaran PKI. Sudharmono memerintahkan Letnan Satu Moerdiono membuat konsep surat itu.
Moerdiono, dalam seminar itu, menuturkan sempat memegang Supersemar asli hanya satu jam. Dokumen itu dibawa Boediono, ajudan Soetjipto, untuk dijadikan dasar konsep. "Setelah itu, surat aslinya di bawa ke Kostrad," ujar Moerdiono. Ia memastikan Supersemar asli terdiri atas dua lembar.
Sumber : Majalah TEMPO Edisi Khusus, Rahasia-Rahasia Ali Moertopo, 14-20 Oktober 2013.
No comments:
Post a Comment