Saturday, September 15, 2012

Padat Karya vs Padat Modal

Dalam pengembangan sistem dan jaringan komputer, ternyata istilah ini masih cukup relevan dengan kondisi saat ini. Pengembangan sistem dan jaringan komputer melalui pendekatan padat karya bertumpu pada kemampuan individu dan jumlah SDM yang memadai. Sedangkan pengembangan sistem dan jaringan komputer berbasis padat modal bertumpu pada dana yang besar dengan jumlah SDM yang bisa minim. Sebab, instalasi awal dan perawatan bisa di-out-sourcing-kan. SDM dibutuhkan hanya untuk supervisi dan pemantauan.

Setiap pilihan tentunya mendatangkan konsekuensi masing-masing. Bahkan pembandingannya gak selalu apple to apple. Dari sisi dana yang dibutuhkan, pendekatan padat modal membutuhkan dana APBN hingga 4 kali dibanding dengan padat karya. Namun pendekatan padat karya membutuhkan SDM dengan jumlah 4 kali lebih banyak dibanding dengan padat modal.

Pada saat reorganisasi Kopassus pada tahun 1985, yaitu penciutan dari 6.644 prajurit menjadi 3.000 prajurit, kegalauan dirasakan oleh Komandan Kopassus saat itu, Brigjen. Sintong Panjaitan. Dia tidak setuju dengan program reorganisasi ini, karena pada akhirnya membutuhkan dana yang jauh lebih besar. Logikanya, jika jumlah personil menyusut, maka skill personil harus ditingkatkan. Peningkatan skill membutuhkan dana yang lebih besar lagi. Misal untuk meningkatkan LP, frekuensi terjun, indeks amunisi per prajurit per tahun, kebutuhan akan berbagai sekolah spesialis. Namun karena ini perintah Panglima ABRI, hanya satu kata "Laksanakan". Meskipun 10 tahun kemudian Kopassus dimekarkan lagi.

Pendekatan padat modal dalam pengembangan sisjarkom merupakan hasil belajar dari kejadian sebelumnya. Yaitu saat penggantian sistem IBM 4331 ke DEC VAX 8550 di tahun 1986. Sistem mainframe DEC membutuhkan dana investasi hingga 2 M, dengan kurs kala itu. Beberapa personil bahkan sempat dididik di Kanada selama 6 bulanan. Instalasi DEC VAX 8550 menurut saya semacam turn key project, user taunya beres. User tinggal mengoperasikan. Perawatan pun dikontrakkan.

Setelah saya bergabung dengan lembaga, perlahan-lahan saya coba pelajari sistem dan akhirnya benar-benar bisa lepas dari kontrak perawatan. Kondisi ini juga didukung oleh semakin berkembangnya teknologi informasi, khususnya jaringan komputer. Jika dahulu, peralatan hanya bisa didapatkan di agen tunggal, lambat laun produk sejenis dihasilkan juga oleh 3Com, Allied Telesys, Novell, D-Link, Acer, dll.

Praktis setelah sepuluh tahun masa operasi mainframe DEC VAX 8550, sistem ini bisa di-shut down untuk selama-lamanya. 5 tahun pertama pengoperasian mainframe ini, saya belum bergabung di BATAN, masih mahasiswa tugas akhir di PPNR (sekarang, PRPN). Namun saya bangga bisa mengopersikan DEC VAX 8550 karena DEC adalah penemu teknologi Ethernet yang kemudian saat ini secara de facto menjadi protokol standar Internet. Saya bersyukur bisa ikut menjadi saksi sejarah perkembangan Ethernet. Dan saya bersyukur bisa belajar fisika sebagai basis penilitian di bidang jaringan komputer. Ether adalah nama media imajiner yang diperkenalkan oleh fisikawan.

Pola pikir yang berbasis pengalaman masa lalu ini sulit saya transformasikan kepada pegawai yang bergabung kemudian. Mereka tidak pernah bersinggungan dengan teknologi lama. Mereka tidak ikut dalam alur sejarah, meskipun usia mereka tidak jauh dengan usia saya. Ini karena mereka memang tidak terlahir di jaringan komputer. Mereka masuk ke dunia komputer dan jaringan karena penugasan.

Dunia mainframe pun bukan dunia yang aneh, saat saya masih kuliah suka diajak main ke kantor Ortu untuk sekedar melihat orang yang kerja dengan mainframe. Mereka bekerja 24 jam sehari 7 hari seminggu untuk mengolah data logging dari berbagai lapangan minyak di Indonesia.

Dengan pengalaman bathin seperti ini, tidak ada yang berat membangun sistem dan jaringan komputer berbasis padat karya. Bagi saya, dengan padat karya, tak ada satupun rekanan yang tahu sistem di lembaga saya. Ini akan aman dari kekacauan yang diakibatkan oleh rekanan.

Semasa saya masih di SD, saya begitu enjoy menikmati tombol-tombol di dalam RADAR. Secara diam-diam menyelinap masuk ke kabin RADAR yang ada di garasi komplek. Meskipun RADAR dalam keadaan OFF, masih bisa berpura-pura menekan tombol sana, memutar tombol sini, melihat layar monitor. Namanya juga anak-anak, penuh imajinasi. Mainan aneh untuk anak seusia saya. Sayang waktu itu belum punya tustel atau kamera untuk sekedar mengabadikan interior RADAR Russia. Saya coba cari-cari di Google pun tak dapat.

Dengan berlalunya waktu, saya tidak dapat menerka, mau dibawa kemana pengembangan sisjarkom ini, ke padat karya atau padat modal kah? Kalau mau ke padat karya, personilnya sudah menua, setidaknya sudah mulai berfikir pragmatis ketimbang idealis. Kalau mau dibawa ke padat modal, alokasi dana investasi tidak sebanding dengan nilai aset. Dana investasi sisjarkom setiap tahun setidaknya 20% dari nilai aset sisjarkom. Karena asumsinya, live time rata-rata perangkat sisjarkom adalah 5 tahun. Padat karya harus didukung SDM yang memiliki soft skill tertentu. Belum lagi formasi yang tidak fleksibel.

Alokasi total dana TIK memang besar, namun perlu dicatat bahwa 75% nya untuk biaya langganan Internet. Sisa 25% masih harus dibagi lagi untuk belanjan perjalanan, honorarium, dan belanja bahan. Bisa dibayangkan nilai belanja modalnya.

Akhir-akhir ini banyak pihak yang menawarkan peralatan yang tinggal pakai. User hanya memantau unjuk kerjanya saja. Karena user dibuat mudah, konsekuensinya harga barang menjadi tidak murah. Peralatan seperti Proxy, Firewall, Router, Teleconference, mail server, virtual server, IP PBX membutuhkan investasi ratusan juta bahkan hingga milyaran. Jika organisasi ini profit oriented, bisa jadi biaya ini menjadi seimbang dengan hasil yang didapat. Namun karena organisasi ini jelas-jelas non profit, persoalannya menjadi lain. Apalagi beberapa SDM-nya memilih fungsional.

No comments:

Post a Comment