Sunday, November 24, 2013
Tom dan Jerry di Tubuh Militer
KEDATANGAN Jenderal Soemitro, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, dari Konferensi Tingkat Tinggi Nonblok di Aljazair disambut laporan rencana kerusuhan dalam waktu dekat. Saat itu September 1973. Tapi informasi dari Mayor Jenderal Soedjono Hoemardani, orang kedua di tim Operasi Khusus (Opsus), itu tidak terlalu dihiraukan.
Setelah laporan Soedjono dibenarkan Mayor Jenderal Sutopo Juwono, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), Soemitro baru percaya. Dia tersentak karena laporan berupa dokumen itu menyebut dalang kerusuhan adalah dirinya sendiri. Tujuannya melengserkan Soeharto. Foto : Soemitro (kiri) dan Ali Moertopo menghadiri Konferensi Bilateral Indonesia-Jepang Pertama di gedung CSIS, Desember 1973. BUKU: ALI MOERTOPO 1924-1984
Penumpang Gelap Malari
ALI MOERTOPO DITUDING MEREKAYASA PERISTIWA MALARI UNTUK MENJEBLOSKAN KELOMPOK YANG KRITIS TERHADAP PEMERINTAH. DIWARNAI PERSAINGAN DENGAN SOEMITRO DAN PEMBELOTAN ANAK DIDIKNYA SENDIRI.
SAMBIL menenteng pistol, Mayor Jenderal Ali Moertopo bersiap menemui massa mahasiswa. Mereka berteriak-teriak dengan nada mengejek di depan kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Tanah Abang III, Jakarta Pusat, pada 15 Januari 1974. Kepala Operasi Khusus yang juga asisten pribadi Presiden Soeharto itu ngotot ingin menjumpai Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, pemimpin demonstran. ”Memangnya saya takut?” katanya.
Para mahasiswa itu menuding Ali dan asisten presiden lainnya sebagai antek Jepang. CSIS menjadi sasaran karena lembaga pemikir yang didirikan Ali Moertopo dan Mayor Jenderal Soedjono Hoemardani pada 1971 itu disebut-sebut sebagai otak dan pelobi utama di balik kebijakan ekonomi Soeharto, yang cenderung lunak terhadap korporasi asing.
SAMBIL menenteng pistol, Mayor Jenderal Ali Moertopo bersiap menemui massa mahasiswa. Mereka berteriak-teriak dengan nada mengejek di depan kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Tanah Abang III, Jakarta Pusat, pada 15 Januari 1974. Kepala Operasi Khusus yang juga asisten pribadi Presiden Soeharto itu ngotot ingin menjumpai Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, pemimpin demonstran. ”Memangnya saya takut?” katanya.
Para mahasiswa itu menuding Ali dan asisten presiden lainnya sebagai antek Jepang. CSIS menjadi sasaran karena lembaga pemikir yang didirikan Ali Moertopo dan Mayor Jenderal Soedjono Hoemardani pada 1971 itu disebut-sebut sebagai otak dan pelobi utama di balik kebijakan ekonomi Soeharto, yang cenderung lunak terhadap korporasi asing.
Intel Diplomat Modal Semangat
ALI MOERTOPO TURUT AKTIF MEMBENTUK ASEAN DAN MEMPROMOSIKAN KERJA SAMA DI KAWASAN ASIA-PASIFIK. SELALU ANTUSIAS, MESKI KERAP TAK DISAMBUT POSITIF.
SEMINAR di London School of Economics itu baru separuh jalan ketika tiba-tiba kegaduhan pecah di depan ruangan. Ratusan pengunjuk rasa meminta diskusi itu dihentikan. Mereka menuntut delegasi pemerintah Indonesia—yang hadir dalam seminar itu—menuntaskan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di negerinya. Mereka menyasar ketua delegasi Indonesia, Ali Moertopo—yang sedianya akan berbicara seputar perkembangan politik dan strategi pembangunan Orde Baru. (Foto : Dari kiri: A.R. Soehoed, Benny Moerdani, Jusuf Panglaykim, Ali Alatas, Jusuf Wanandi, J. Halim, Subono, dan Ali Moertopo pada seminar di London School of Economics, akhir 1970-an. DOK. KELUARGA)
SEMINAR di London School of Economics itu baru separuh jalan ketika tiba-tiba kegaduhan pecah di depan ruangan. Ratusan pengunjuk rasa meminta diskusi itu dihentikan. Mereka menuntut delegasi pemerintah Indonesia—yang hadir dalam seminar itu—menuntaskan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di negerinya. Mereka menyasar ketua delegasi Indonesia, Ali Moertopo—yang sedianya akan berbicara seputar perkembangan politik dan strategi pembangunan Orde Baru. (Foto : Dari kiri: A.R. Soehoed, Benny Moerdani, Jusuf Panglaykim, Ali Alatas, Jusuf Wanandi, J. Halim, Subono, dan Ali Moertopo pada seminar di London School of Economics, akhir 1970-an. DOK. KELUARGA)
Tulang Babi di Rumah Nomor 18
ALI Moersalam masih mengingat satu kejadian pada 1970-an. Di rumah Ali Moertopo di Jalan Matraman Raya Nomor 18, Jakarta Timur, Soedjono Hoemardani menegur sedikit keras sahabatnya itu soal sebongkah tulang babi yang tergantung di salah satu sudut rumah. Si empunya rumah percaya tulang babi bisa menjauhkannya dari bahaya.
Soedjono, yang dikenal sebagai penganut aliran kebatinan dan penghayat spiritual, pun menganggap tulang babi tak baik bagi Ali Moertopo. ”Copot itu. Itu tidak hanya menjauhkan mara bahaya, tapi malaikat juga tidak mau masuk ke rumah kamu,” ujar Ali Moersalam menirukan ucapan Soedjono kepada kakaknya, dua pekan lalu. Ali Moertopo mengikuti nasihat Soedjono dengan membuang tulang babi itu.
Soedjono, yang dikenal sebagai penganut aliran kebatinan dan penghayat spiritual, pun menganggap tulang babi tak baik bagi Ali Moertopo. ”Copot itu. Itu tidak hanya menjauhkan mara bahaya, tapi malaikat juga tidak mau masuk ke rumah kamu,” ujar Ali Moersalam menirukan ucapan Soedjono kepada kakaknya, dua pekan lalu. Ali Moertopo mengikuti nasihat Soedjono dengan membuang tulang babi itu.
Tugas Rahasia Sang Asisten Presiden
MENJADI STAF PRIBADI, ALI MOERTOPO DILIBATKAN DALAM BERBAGAI OPERASI SENYAP. BERPERAN MEMBUJUK SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO PULANG.
PERTEMUAN rahasia itu terjadi di salah satu sudut Kota Bangkok, Thailand, pada Maret 1967. Ali Moertopo mendapat tugas mahapenting: membujuk Sumitro Djojohadikusumo kembali ke Tanah Air. Pakar ekonomi pembangunan ini meninggalkan Indonesia karena ikut mendukung Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, 15 Februari 1958.
Aloysius Sugiyanto, tangan kanan Ali di Operasi Khusus, yang hadir di sana, mengingat dengan jelas peristiwa itu. Ali mengajak bertemu untuk makan siang bersama. Perbincangan mereka dimulai dengan beragam topik tentang kondisi Indonesia. Foto : Ali Moertopo (kiri) saat menjadi asisten pribadi Soeharto. DOK. KELUARGA
PERTEMUAN rahasia itu terjadi di salah satu sudut Kota Bangkok, Thailand, pada Maret 1967. Ali Moertopo mendapat tugas mahapenting: membujuk Sumitro Djojohadikusumo kembali ke Tanah Air. Pakar ekonomi pembangunan ini meninggalkan Indonesia karena ikut mendukung Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, 15 Februari 1958.
Aloysius Sugiyanto, tangan kanan Ali di Operasi Khusus, yang hadir di sana, mengingat dengan jelas peristiwa itu. Ali mengajak bertemu untuk makan siang bersama. Perbincangan mereka dimulai dengan beragam topik tentang kondisi Indonesia. Foto : Ali Moertopo (kiri) saat menjadi asisten pribadi Soeharto. DOK. KELUARGA
Subscribe to:
Posts (Atom)