Suatu kali saya berkesempatan berkunjung ke lembaga nuklir Filipina, PNRI = Phillipines Nuclear Research Institute di Dilliman, Manila. Saat itu bulan Ramadhan dan sayang kalo harus men-qodho puasa. Ketika hari Jum'at tiba dan saya perlu menunaikan sholat Jum'at (tidak harus sih), tiba-tiba ada yang menghampiri saya. Ia sudah cukup senior. Ia menawarkan saya untuk mengantarkan ke masjid terdekat. Dan saya segera saja menyanggupi.
Kemudian beliau juga meminta salah satu staf PNRI yang muslim (kayaknya orang Mindanao) untuk menemani saya sholat jum'at di salah sudut kota Manila. Dalam perjalanan menuju masjid bersama istrinya, ia bercerita kalau ia adalah putra pendiri PNRI, Jenderal Florencio A. Medina (the Philippine Father of Atomic Energy). Setelah saya cari tahu, nama beliau adalah Prof. Dr. Florencio-Isagani S. Medina III. Ia bercerita kalau ia masih memiliki darah Yahudi, sehingga ia bisa sekolah di Tel Aviv dari S1 hingga S3. Di mobil Toyota Kijang Krista nya (istilah Filipina adalah Toyota Tamaraw Revo) terpampang lambang negara Israel. Ia juga bercerita jika beberapa kosa kata Tagalog masih sama dengan Melayu. Di akhir keberadaan saya di Manila, ia menitipkan sesuatu kepada saya untuk koleganya di Indonesia. Sebuah pengalaman yang membuat saya berpikir ulang tentang SARA.
Selama saya di Manila sempat menjelajah University of the Phillipines menggunakan Jeepney. Menjelajah pelosok perkampungan Moslem di Manila dan masuk ke kawasan Istana Malacanang.
Jeepney adalah alat transportasi public jarak pendek yang digunakan di Manila. Kalau mau jarak jauh, bisa pakai moda transportasi lain, seperti bis kota atau MRT. Jeepney sebenernya adalah kendaraan era PD II buatan AS. Namun Jeepney yang sekarang digunakan di Manila tidak asli menggunakan mesin asli dari Willys & Ford. Hanya chassis-nya saja yang masih mirip aslinya. Mesin sudah menggunakan Isuzu atau Mitsubishi. Kendaraan semacam ini juga pernah dipakai sebagai angkutan publik di Kediri dan Tulungagung, namun saya lupa kapan dan gak terpikir untuk memotretnya.
Yang terkenang olehku adalah cara naik Jeepney, begitu tertib dan disiplin. Setiap penumpang baru selalu duduk persis di belakang supir. Sementara penumpang lain bergeser ke arah luar, agar mudah juga untuk turun. Karena saya tidak tahu tarifnya, tanpa bicara, saya serahkan saja 1 peso. Tinggal dilihat berapa kembaliannya. Itulah besarnya tarif. Toh wajah saya dengan orang Filipina tidak ada bedanya. Pasti mereka menyangka saya adalah penduduk lokal.
Coba cara naik Jeepney bisa di terapkan saat naik angkot. Dari pengalaman, setiap kali naik angkot, jarang ada penumpang yang mau duduk langsung di bagian terdalam. Tidak peduli anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak, kakek-nenek semuanya maunya duduk di deket pintu dengan alasannya masing-masing. Sehingga menghambat penumpang lain yang mau naik atau turun. Gemana cara mengubah kebiasaan ini yaa??? masak harus ke Manila dulu yaa?
No comments:
Post a Comment