Bendung Katulampa mulai dioperasikan pada tahun 1911. Akan tetapi, pembungannya sudah dimulai pada tahun 1889, setelah Jakarta, yang waktu itu masih bernama Batavia, dilanda banjir besar pada 1872. Banjir saat itu dikabarkan membuat daerah elit Harmoni ikut terendam air luapan Ciliwung.
Belanda membangun bendung di Katulampa dengan gtujuan untuk mengukur debit air Ciliwung yang akan mengalir ke Batavia. Hal itu dimaksudkan sebagai semacam sistem peringatan dini agar kemungkinan banjir bisa diketahui dan diantisipasi para pejabat tinggi pemerintahan Hindia-Belanda. Namun, tujuan lain pembangunan infrastruktur pengairan di Bogor bagian timur itu adalah untuk keperluan irigasi.
Di Katulampa, sebagian air Ciliwung dialirkan lewat pintu air ke Kali Baru Timur, saluran irigasi yang dibangun pada waktu yang sama. Dari Bogor bagian timur, sungai buatan itu mengalir ke Jakarta, di sepanjang sisi Jalan raya Bogor, melalui Cimanggis, Depok, Cilangkap, sebelum bermuara di daerah Kali Besar, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Air Kali Baru Timur dulu dipakai untuk mengairi sawah yang banyak terdapat di daerah antara Bogor dan Jakarta.
"Sampai tahun 1990, areal persawahan di Bogor dan Jakarta masih banyak, yakni 2.414 hektar. Sekarang sawah hampir habis. Di Bogor dan Cibinong tinggal 72 hektar. Di Jakartta malah sudah taka da sama sekali," ujar Andi yang berstatus sebagai karyawan Balai Pendayagunaan Sumebr Daya Air Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, Bogor.
Fungsi irigasi Bendung Katulampa bisa dikatakan sudah berakhir akibat punahnya areal persawahan di Bogor dan Jakarta. Dengan begitu, fungsinya kini tinggal sebagai bagian dari sistem peringatan dini bahaya banjir bagi warga Jakarta.
Dari Katulampa, air Ciliwung mengalir selama sekitar enam jam untuk sampai di Depok, di pintu air Depok - pos pengukur ketinggian air. Dari sana, masih dibutuhkan waktu sekitar delapan jam lagi sebelum air kiriman dari Bogor tiba di Jakarta, di Pintu Air Manggarai.
'Tetapi, laju air juga tergantung pada ketinggiannya. Makin tinggi permukaan air, makin tinggi pula kecepatan alirannya," katanya.
Jika tinggi air Ciliwung sedah mencapai 80 cm, penjaga Bendung Katulampa langsung menetapkan status siaga IV dan wajib melaporkannya ke Jakarta. Ketinggian 80 cm menandakan debit air Ciliwung sudah cukup besar dan bisa mengakibatkan banjir di Jakarta.
"Kami harus segera menginformasikannya karena dalam waktu enam jam, air ebsar di Katulampa itu akan tiba di Jakarta," papar Andi. Soalnya, ketinggian air Ciliwung setiap saat bisa mendadak melonjak. "Walau di sini tidak hujan, ktinggian air bisa tetap naik sampai tingkat waspada atau siaga jika hujan lebat turun secara merata di kawasan Puncak," tambah laki-laki 41 tahun itu.
Jakarta makin tenggelam karena kiriman air dari Bogor bertemu dengan pasang naik air dari Bogor bertemu dengan pasang naik air laut di Teluk Jakarta dan guyuran hujan yang merata di lima wilayah Ibu Kota. Menurut Andi, dirinya akan menjadi pihak yang paling disalahkan kalau waktu itu lalai memonitor ketinggian air atau jika tak segera menginformasikan hasilnya ke Jakarta.
"Jakarta jan mengantisipasi datangnya banjir, salah satunya berdasarkan informasi dari kami. Dengan demikian, warga Jakarta punya waktu untuk bersiap-siap," ujarnya.
Tugas penjaga Bendung Katulampa tak cuma memantau ketinggian air. Kondisi cuaca di sekitar bendung yang berlokasi di Desa Katulampa, Tajur, Bogor Selatan, itu juga harus terus dipantau dan setiap jam dicatat di buku laporan yang tersedia. Pemantaun cuaca dilakukan juga dengan terus mengikuti laporan prakiraan cuaca dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).
Semua catatan ini lalu dilaporkan lewat telepon ke berbagai pihak yang berkepentingan. Mereka antara lain Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, pos pemantau ketinggian air Ciliwung di Depok, dan petugas Pintu Air Manggarai, dan Pemerintah Kota Bogor.
Para penjaga yang selalu siap siaga 24 jam ini berharap agar pemerintah lebih memperhatikan kebutuhan kerja para penjaga Bendung Katulampa. Mereka juga berharap pos penjagaan mereka segera dilengkapi dengan komputer.
Sumber :
Ekspedisi Ciliwung, Laporan Jurnalistik Kompas, Mata Air, Air Mata
Penerbit Buku Kompas, Juni 2009.
Test.