Pada suatu kesempatan, teman mengajak untuk ke RSPP (Rumah Sakit Pusat Pertamina) Jakarta untuk sekedar melihat secara langsung kondisi Pak Harto, Presiden ke 2 Republik Indonesia. Waktu itu kalau tidak salah 19 janauri 2008. Beberapa saat kemudian, tepatnya tanggal 27 Januari 2008, mendengar kabar dari radio bahwa Pak Harto telah wafat. Saat itu saya baru saja pulang dari kondangan di Kota Bogor. Setelah sempat berpikir 15 menit antara pergi ke Cendana atau tidak, akhirnya meluncur juga dengan motor ke arah Cendana.
Motor adalah kendaraan yang mampu menembus jika saja ada kemacetan di dekat lokasi target. Untuk lebih memudahkan memasuki Cendana, motor saya titipkan di Masjid Cut Mutiah. Ke Cendana menggunakan ojek. Karena biasanya tukang ojek mudah memasuki daerah-daerah yang belum kita kenal. Ini adalah pengalaman saya ketika di Kamboja.
Setelah puas mengambil gambar suasana Cendana, dan hari sjuga udah mulai gelap, saya kembali berpikir untuk melanjutkan misi ke Solo atau pulang ke Parung. Keadaan gelap membuat saya sulit mengambil gambar mengingat lensa yang saya menggunakan lensa normal saja, bukan lensa dengan diafragma (f) rendah. Lensa f rendah membuat cahaya yang kurang masih bisa menangkap gambar.
Setelah berpikir sambil naik motor ke Stasiun Gambir, akhirnya aku putuskan untuk ke Solo pakai kereta api Argo Dwipangga, jurusan Gambir - Solo Balapan. Tujuannya sangat sederhana, pertama : tanggung; kedua : pengen punya gambar sendiri ketika jenazah berada di dalam mobil jenazah. Saya pernah lihat gambar seperti ini untuk Pak Karno.
Misi yang sangat sederhana bukan?
Sesampai di Stasiun Solo Balapan, saya sempat tidur beberapa menit sambil menunggu subuh tiba. Setelah mandi ala kadarnya, bergegaslah mencari ojek yang mau disewa seharian dan mau mengantarkan ke berbagai tujuan dan mengerti daerah yang akan saya datangi. Setelah ketemu tukang ojeknya, langsung meluncur ke Lanud Adi Soemarmo. Sebelum jenazah tiba dari Jakarta, saya sudah melanjutkan ke lokasi pemakaman. Takut nanti malah gak bisa menembus blokade petugas. Toh tujuan saya adalah mendapatkan gambar saat jenazah ada di dalam mobil jenazah dan dekat lokasi akhir.
Untuk mencapai lokasi, sudah banyak petugas keamanan yang berjaga di sepanjang jalan dan di setiap persimpangan. Kita harus berpura-pura seperti penduduk lokal agar mudah menembus berbagai halangan. Bahkan saya harus jalan melambung untuk menghindari barikade melalui jalan-jalan kampung. Kalau saja saya tidak dianter tuklang ojek yang mengetahui persis daerah Kecamatan Matesih, rasanya saya akan sulit mencapai Astana Giribangun. Maklum saya tidak punya tanda pengenal sebagai awak media.
Beberapa ratus meter menjelang Astana Giribangun saya minta diturunkan, dan tukang ojek saya persilahkan untuk kembali ke bawah (persimpangan Matesih) dan akan ketemuan lagi jam 5 sore. Sambil mengamati sekeliling kawasan Giribangun, saya mencari lokasi yang paling strategis untuk pengambilan gambar sesuai tema yang ada di pikiran saya. Dan saya harus siap di lokasi setidaknya 2 jam sebelum jenazah lewat. Saya khawatir sepanjang lokasi akan dijejali masyarakat, mengingat Pak Harto sangat disegani dan dikagumi oleh rakyatnya. Alhamdulillah sejak jam 8 pagi saya sudah bisa stand by di posisi yang saya anggap paling strategis dan saya berdo'a semoga lokasi tersebut aman hingga jenazah lewat.
Hanya karena sebuah foto yang original, saya harus merogoh saku dalam-dalam dan meluangkan waktu hingga 2 hari. Pengalaman yang sangat membekas hingga sekarang. Hikmah yang dapat dipetik : jika kita sudah punya tema dan target tertentu dalam fotografi, urusan terasa menjadi penuh tantangan dan kita harus siap berkorban. Kalau hanya sekedar ambil foto, itu mah gampang sekali.
Dari kejadian tersebut, kayaknya saya harus berencana untuk punya sebuah lensa dengan f yang paling kecil yang ada di pasaran dan punya DSLR dengan ISO maksimal yang ada di pasaran. Namun tetap Canon. Saya menghindari flash untuk membuat agar ekspresi obyek tidak berubah dan tetap alamiah.
Untuk fotografi semacam jurnalis seperti ini, pengaturan kamera secara manual sulit dimanfaatkan. Saya harus memilih auto namun tanpa flash (pilihan Flash Off). Momen bisa datang dengan cepat, bahkan dalam orde mili second dan gak bisa diulang. Ini yang gak bisa dilakukan oleh kamera saku. Mau gak mau harus pakai DSLR. DSLR bisa ambil 3 frame per second atau lebih. Antara tombol ditekan hingga gambar diambil cukup dalam orde sepersekian detik.
Sejak itu saya sudah punya lensa dengan diafragma kecil, yaitu f/1.8 namun dengan focal length hanya 28 mm (cincin emas) dan lensa zoom f/3.5-5.6 dengan focal length 18 - 200 mm (cincin perak). Kayaknya masih butuh lensa f/1.2 meskipun dengan focal length 55 mm dan lensa zoom f/2.8 fix dengan focal length 70 - 200 mm. Lensa dengan diafragma kecil ternyata harganya cukup fantastis. Kedua lensa terakhir memiliki tanda cincin merah.
Lensa DO (paling kiri) terlihat kerdil dibandingkan dengan lensa telefoto Canon lainnya. Dari Kiri ke kanan: Canon 70-300mm IS DO, Canon 70-300mm IS, Canon 70-300mm L IS, Canon 70-200mm f4, Canon 100-400mm IS, Canon 70-200mm f/2.8. Cincin merah : EF jenis L, cincin emas : EF dan cincin perak : EF-S.
No comments:
Post a Comment