Awal kejadian terjadi ketika jalan-jalan disekitar benteng atau istana raja. Sedang asyik jalan, tiba-tiba ada seseorang menghampiri. Dengan cara yang sopan dan bahasa Inggris yang lumayan, ia menawarkan untuk menunjukkan 6 pagoda di sekitar Bangkok. Ia bilang, hanya 40 bath termasuk ongkos tuk-tuk. Langsung saja saya sanggupi karena memang sangat murah. Mungkin ia menawarkan karena saya membawa tustel dan peta jalan Periplus (Periplus Travel Map), mirip turis-turis. Padahal wajah saya gak beda jauh dengan wajah orang lokal.
Ia kemudian memanggil tuk-tuk yang sedang melintas. Setelah ia berbicara dengan supir tuk-tuk dengan bahasa yang tidak saya mengerti, kemudian ia menyuruh saya naik ke tuk-tuk. Kemudian dengan sigap, tuk-tuk meluncur menuju pagoda pertama. Sesampai pagoda pertama yang ternyata tidak jauh, saya disuruh masuk sendiri. Kalo saya perhatikan, apa yang menarik dari pagoda ini ya? Iseng-iseng saya bertanya kepada salah seorang yang ada di situ. Setelah bertanya sana-sini, saya tahu bahwa orang tersebut adalah pilot pesawat penumpang. Dulu ia adalah pilot F-16 dari Angkatan Udara Thailand (RTAF). Dia bilang gaji pilot AU kecil, makanya ia keluar dan kemudian menjadi pilot pesawat komersil.
Setelah setengah jam berlalu, saya minta diantar ke pagoda kedua. Ternyata ia antar ke sebuah toko. Setelah saya masuk, tahulah bahwa itu adalah sebuah toko perhiasan. Kontan saja saya gak tertarik dan segera cabut. Rupanya si supir tuk-tuk gak mau kalau saya buru-buru keluar toko. Tapi karena memang tidak tertarik, mau apalagi. Saya memaksa untuk melanjutkan perjalanan. Rupanya si supir tuk-tuk tidak mau, inilah awal kekesalan saya. Langsung saja saya marah-marah dan saya kasih 10 bath sebagai ganti ongkos tadi. Rupanya si supir tuk-tuk gak mau, akhirnya saya tambah lagi 10 bath. Ia langsung tancap gas.
Di sinilah awal tersesatnya. Soalnya saya gak bisa menentukan dimana lokasi saat ini terhadap posisi di peta. Tanya orang juga gak ada yang bisa baca peta. Aneh pikirku. Saya baru sadar kalau banyak orang Bangkok yang tidak bisa baca tulisan latin, apalagi bahasa Inggris. Nasib jalan-jalan di negara yang punya huruf dan bahasa sendiri dan tidak mengerti bahasa Inggris. Sempat juga tanya salah satu satpam, hasilnya sama saja. Ia tidak faham bahasa Inggris dan membaca peta.
Jalan keluarnya apa ya? Mungkin sebaiknya bertanya kepada anak sekolah, misal SMP atau SMA. Sambil berjalan tanpa arah, saya mencoba tengok kanan dan kiri, barangkali aja ada anak sekolah. Kelihatannya ada anak sekolah yang menjaga toko minuman. Sambil belanja minuman, saya bertanya, dan alhamdulillah ia bisa menunjukkan jalan pulang, jadi tidak hanya posisi di peta saja. Setelah hampir berjalan 4 jam akhirnya sampai di hotel, sebelah stasiun KA Bangkok. Stasiunnya mirip stasiun Tanjung Priok, tempat bermain saya semasa SD.
Kendala bahasa dan huruf atau tulisan saya alami pula beberapa kali. Misal saat minta antar tukang ojek dari penginapan ke stasiun KA Pattaya, ternyata diantar ke terminal bis. Terpaksa jalan kaki dari terminal bis Pattaya ke stasiun KA Pattaya dengan menggendong ransel besar dan ransel kecil lebih dari 1 jam. Kendala lain terjadi saat selepas melintasi tapal batas Klong Yai, sebuah kota perbatasan dengan Kamboja di Cham Yeam. Saat itu saya mis-orientasi, dan gak tahu harus naik apa agar bisa melihat sunrise di Pattaya. Di Klong Yai sudah jam 6 sore. Setelah tanya sana sini karena gak ada yang faham peta, akhirnya saya ikut mobil turis lain yang ke arah Bangkok. Nanti di tengah jalan harus turun karena mobil akan langsung ke Bangkok tanpa lewat Pattaya.
Kalau saya lihat peta, saya seharusnya turun di Klaeng. Saya sangat terbantu dengan modal GPS Garmin 48, sebuah GPS jadul yang masih B/W. Sampai di Klaeng sudah jam 9 malam. Persoalan lain muncul, dengan apa saya bisa pergi ke Pattaya?. Saya bertanya ke orang-orang, gak ada yang bisa bahasa Inggris. Masak saya harus nginep di halte sih? Penginapan tidak ada.
Ada seorang tukang ojek yang faham maksud saya, meskipun tidak bisa ngomongnya. Dengan bahasa isyarat ia menuntun saya untuk menunggu di halte, dan ia menunggu saya. Ketika bis datang, saya disuruh naik bisa tersebut. Saya ikut kata si tukang ojek, karena saya yakin ia memang ingin menolong saya. Samapai di atas bis, saya mikir, gemana cara ngomong supaya bisa turun di Pattaya? Pada suatu titik, tinggal saya sendiri di bis dan saya disuruh turun karena bis mau masuk Pool, yang dapat saya tangkap. Mau gak mau saya harus turun.
Kalau saya lihat dari GPS, lokasi ini sudah masuk kota Pattaya. Saya coba mencari ojek dan minta diantar ke penginapan. Tanpa banyak kata-kata, si tukang ojek segera mengantarkan ke penginapan. Sampai beberapa kali bertanya ke penginapan-penginapan, akhirnya dapatlah penginapan yang kamar mandinya di dalam. Repot kalo kamar mandinya di luar. Memang sih, biasanya para backpacker memilih jenis yang terakhir.
Tersesat itu sebenarnya menyusahkan atau menyenangkan ya? Mudah-mudahan pengalaman tersesat Anda menjadi cerita sendiri.