Perjalanana ke Taman Nasional Komodo saya anggap sebagai perjalanan "desperate mission", perjalanan yang tidak terencana, atau bisa juga sebagai perjalanan alternatif. Sebenarnya tujuan akhir perjalanan adalah akan mengunjungi telaga tiga warna di Ende dan juga tempat pembuangan Bung Karno. Namun ketika sampai di Pelabuhan Sape, Bima, saya berhitung-hitung waktu dan biaya untuk ke Ende. Untuk ke Ende, saya perkirakan butuh waktu setidaknya 3 x 24 jam untuk bolak balik. Disamping itu butuh biaya sekitar 3 juta rupiah. Biaya Rp 1,6 juta untuk ongkos ferry Sape - Labuah Bajo (PP), biaya BBM dari Labuan Bajo ke Ende (PP) dan penginapan selama di Ende. Belum lagi kalau untuk mau bawa buah tangan Ende. Sebenarnya waktu 3 hari dan dana 3 jt sangatlah mepet, apalagi kalau ingin menikmati Ende dengan lebih leluasa.
Perjalanan dari Bogor ke Komodo ditempuh menggunakan mobil minibus Suzuki Carry Futura dengan mengambil waktu cuti tahunan. Perjalanan bersama istri dan kedua anakku (Diana dan Utomo), memakan waktu 2 minggu-an untuk pulang dan pergi. Jika sesampainya di Sape, dan perjalanan saya lanjutkan lagi ke Ende, waktu perjalanan akan bertambah. Dan saya khawatir jatah cuti tahunan akan habis. Dan yang lebih penting lagi adalah tabungan akan defisit. Untuk itu segera diputuskan untuk mengunjungi Taman Nasional Komodo (TN. Komodo). Sebenarnya tujuan kedua ini muncul begitu saja ketika saya mengunjungi pantai Sape.
Saat di Sape, saya berkenalan dengan seorang pemilik perahu. Setelah tawar menawar, akhirnya kami diantar ke penangkaran mutiara, penangkaran lobster, dan penangkaran walet di pulau kecil. Selama perjalanan ke lokasi tersebut saya mencari berbagai informasi. Dan akhirnya dapatkan informasi kalau saya bisa mengunjungi TN. Komodo. Caranya adalah naik Ferry Sape-Labuan Bajo yang berangkat setiap jam 5 sore. Sesampai di Labuan Bajo (sekitar jam 4 pagi), dilanjutkan ke Pulau Rinca menggunakan perahu tempel. Sang Pemilik Perahu Tempel di Sape punya saudara di Labuan Bajo yang bisa mengantarkan ke TN. Komodo.
Entah kenapa, saudara Si Pemilik Perahu Tempel di Sape (di ujung Timur P. Sumbawa), menyertakan kakaknya untuk mengantarkan kami ke Pulau Rinca. Bagi saya, tidaklah masalah. Anggap saja ia sebagai guide saya. Sang Guide mengatakan, ia gak usah dibelikan tiket Ferry. Ia bisa bayar di atas. Saya sebenarnya ingin membelikan tiket, jika ada apa-apa setidaknya bisa meng-klaim asuransi. (Ekstrim banget ya...). Menggunakan warga lokal untuk masuk ke daerah asing adalah tip yang ampuh. Banyak masalah yang bisa diselesaikan dengan lebih mudah menggunakan warga lokal.
Ternyata ferry sampai di Labuan Bajo (di ujung Barat P. Flores) sekitar jam 3 pagi. Sementara itu perahu tempel penjemput belum datang. Untuk menunggunya, saya mencoba tidur-tiduran di sebuah masjid di sekitar pelabuhan. Untungnya penjaga masjid tidak mengusir kami karena kami menumpang tidur. Sekalian saja, kami sholat subuh di masjid ini.
Sebenarnya bisa saja naik perahu dari Sape langsung ke P. Rinca. Namun Si Pemilik Perahu tidak berani melakukannya, mungkin karena perahunya kecil. Atau mungkin arus Selat Sape terlalu kuat mengingat selat ini menghubungkan antara Laut Flores dan Samudra Indonesia. Atau mungkin juga untuk mengamankan pendapatan asli daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) mengingat P. Komodo dan P. Rinca adalah bagian dari NTT.
Naik perahu tempel dari Labuanbajo ke P. Rinca cukup mengerikan juga. Saya seperti naik perahu di atas sungai yang sangat luas. Air laut tampak mengalir. Air laut tidak diam begitu saja. Untung ombak saat itu tidak terlalu besar. Jika tinggi ombak setengah meter saja, sudah pasti air akan masuk ke dalam perahu. Meskipun ombak kecil, perahu tidak berani memotong pola ombak secara tegak lurus. Perahu memotong ombak secara menyerong, sehingga perjalanan ke P. Rinca terasa agak lama. Belum lagi jika kapal perahu tempel mengalami kerusakan atau kehabisan BBM. Alhamdulillah semua itu tidak terjadi. Malah saya ketemu pulau kecil yang unik, hanya berdiameter sekitar 10 meter, dengan sebatang pohon kelapa di tengahnya. Kalau di WindowsXP seperti gambar "Azul".
Sepanjang perjalanan ke P. Rinca, kami bertemu berbagai kapal Pinisi yang disewa oleh wisman. Tampaknya para wisman sedang menikmati keindahan laut. Laut memang sangat bening, sehingga kita bisa melihat hingga dasar. Sebenarnya bisa saja menyewa perahu kelas Pinisi, namun harga sewanya saat itu adalah 1 juta rupiah-an. Kalau berbanyak, tentu harga tersebut tidaklah mahal. Saya memilih perahu tempel karena sewanya hanya 300 ribu rupiah saja. Biaya tersebut termasuk bermalam di pulau kecil dimana sekitar 500 KK suku Bajo bermukim.
Sesampai di TN. Komodo di P. Rinca, yang saya temui adalah para wisman (wisatawan manca negara). Saya tidak melihat seorangpun wisatawan lokal. Orang lokal hanyalah para petugas Taman Nasional milik Departemen Kehutanan. Setelah mengisi buku tamu, kami diantar oleh petugas mengunjungi dimana komodo biasa berkeliaran. Sekitar 2500 komodo berkeliaran secara bebas di seluruh P. Rinca, termasuk di sekitar penginapan petugas. Semua penginapan berbentuk panggung. Mungkin untuk menghindari gigitan komodo.
Komodo sebenarnya tidak memakan mangsanya secara langsung. Ia hanya menggigit mangsa dan menunggu sampai beberapa hari hingga mangsanya terkulai. Air liur komodo mengandung racun mematikan. Tidak seperti racun ular yang bisa mematikan dalam orde menit. Senjata untuk menghindari serangan komodo cukup sederhana, yaitu tongkat kayu yang ujungnya berbentuk huruf "Y". Panjang tongkat sekitar 2 meter. Kenapa ya? Komodo koq takut dengan tingkat kayu Y.
Kehidupan satwa di Pulau Rinca dibuat sebebas mungkin. Komodo, babi hutan, rusa berkeliaran secara bebas. Jika dulu pengunjung bisa memberi makan daging ke komodo, saat saya berkunjung sudah tidak diijinkan lagi. Komodo dibiarkan mencari makannya sendiri di seantero pulau (mungkin agar komodo gak manja he he he...). Selain di P. Rinca, komodo memiliki habitat di P. Komodo dan juga sebagian kecil P. Flores (menurut Guide saya).
Untuk mencapai P. Rinca dari Bogor memakan waktu cukup lama karena kami harus sering istirahat. Iramanya saya buat seperti irama kehidupan sehari-hari. Selepas subuh, kami sarapan lalu memulai perjalanan. Saat waktu dzuhur, berhenti untuk istirahat, makan dan sholat. Setelah selesai sholat berjalan lagi hingga waktu sholat ashar tiba. Setelah menunaikan sholat ashar, perjalanan dilanjutkan lagi hingga menjelang magrib. Sebelum magrib diusahakan untuk mendapatkan penginapan. Sehingga sholat magrib bisa di penginapan. Kemudian makan malam. Jadi selama perjalanan tidak ada istilah sholat jama dan qashar. Saya merasa Tuhan telah membuat irama kehidupan yang sangat serasi. Sehingga perjalanan jauh tidak terlalu melelahkan.
Sepanjang perjalanan dari Bogor, sempat istirahat di beberapa tempat, yaitu Yogyakarta, Kediri, Lombok, Bima. Untuk sampai ke P. Rinca, harus melewati 4 penyeberangan umum atau ferry, yaitu penyebarangan Ketapang Banyuwangi - Gilimanuk (Bali Barat), Padangbai (Bali Timur) - Lembar (Lombok Barat), Labuan Lombok (Lombok Timur) - Poto Tano (Sumbawa Barat), dan Sape (Sumbawa Timur) - Labuan Bajo (Flores Barat). Transportasi umum antara Labuan Bajo - P. Rinca tidak tersedia, anda harus menyewa kapal atau perahu. Yang membuat mahal adalah menyeberangkan mobil dan BBM, tapi penggunaan mobil pribadi menjadi lebih leluasa untuk pergi kemana saja. Salah satu tempat yang saya singgahi adalah Lombok. Kalau Bali dah keseringan. Menakjubkan juga keindahan Indonesia.
Perjalanan dari Bogor ke Komodo ditempuh menggunakan mobil minibus Suzuki Carry Futura dengan mengambil waktu cuti tahunan. Perjalanan bersama istri dan kedua anakku (Diana dan Utomo), memakan waktu 2 minggu-an untuk pulang dan pergi. Jika sesampainya di Sape, dan perjalanan saya lanjutkan lagi ke Ende, waktu perjalanan akan bertambah. Dan saya khawatir jatah cuti tahunan akan habis. Dan yang lebih penting lagi adalah tabungan akan defisit. Untuk itu segera diputuskan untuk mengunjungi Taman Nasional Komodo (TN. Komodo). Sebenarnya tujuan kedua ini muncul begitu saja ketika saya mengunjungi pantai Sape.
Saat di Sape, saya berkenalan dengan seorang pemilik perahu. Setelah tawar menawar, akhirnya kami diantar ke penangkaran mutiara, penangkaran lobster, dan penangkaran walet di pulau kecil. Selama perjalanan ke lokasi tersebut saya mencari berbagai informasi. Dan akhirnya dapatkan informasi kalau saya bisa mengunjungi TN. Komodo. Caranya adalah naik Ferry Sape-Labuan Bajo yang berangkat setiap jam 5 sore. Sesampai di Labuan Bajo (sekitar jam 4 pagi), dilanjutkan ke Pulau Rinca menggunakan perahu tempel. Sang Pemilik Perahu Tempel di Sape punya saudara di Labuan Bajo yang bisa mengantarkan ke TN. Komodo.
Entah kenapa, saudara Si Pemilik Perahu Tempel di Sape (di ujung Timur P. Sumbawa), menyertakan kakaknya untuk mengantarkan kami ke Pulau Rinca. Bagi saya, tidaklah masalah. Anggap saja ia sebagai guide saya. Sang Guide mengatakan, ia gak usah dibelikan tiket Ferry. Ia bisa bayar di atas. Saya sebenarnya ingin membelikan tiket, jika ada apa-apa setidaknya bisa meng-klaim asuransi. (Ekstrim banget ya...). Menggunakan warga lokal untuk masuk ke daerah asing adalah tip yang ampuh. Banyak masalah yang bisa diselesaikan dengan lebih mudah menggunakan warga lokal.
Ternyata ferry sampai di Labuan Bajo (di ujung Barat P. Flores) sekitar jam 3 pagi. Sementara itu perahu tempel penjemput belum datang. Untuk menunggunya, saya mencoba tidur-tiduran di sebuah masjid di sekitar pelabuhan. Untungnya penjaga masjid tidak mengusir kami karena kami menumpang tidur. Sekalian saja, kami sholat subuh di masjid ini.
Sebenarnya bisa saja naik perahu dari Sape langsung ke P. Rinca. Namun Si Pemilik Perahu tidak berani melakukannya, mungkin karena perahunya kecil. Atau mungkin arus Selat Sape terlalu kuat mengingat selat ini menghubungkan antara Laut Flores dan Samudra Indonesia. Atau mungkin juga untuk mengamankan pendapatan asli daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) mengingat P. Komodo dan P. Rinca adalah bagian dari NTT.
Naik perahu tempel dari Labuanbajo ke P. Rinca cukup mengerikan juga. Saya seperti naik perahu di atas sungai yang sangat luas. Air laut tampak mengalir. Air laut tidak diam begitu saja. Untung ombak saat itu tidak terlalu besar. Jika tinggi ombak setengah meter saja, sudah pasti air akan masuk ke dalam perahu. Meskipun ombak kecil, perahu tidak berani memotong pola ombak secara tegak lurus. Perahu memotong ombak secara menyerong, sehingga perjalanan ke P. Rinca terasa agak lama. Belum lagi jika kapal perahu tempel mengalami kerusakan atau kehabisan BBM. Alhamdulillah semua itu tidak terjadi. Malah saya ketemu pulau kecil yang unik, hanya berdiameter sekitar 10 meter, dengan sebatang pohon kelapa di tengahnya. Kalau di WindowsXP seperti gambar "Azul".
Sepanjang perjalanan ke P. Rinca, kami bertemu berbagai kapal Pinisi yang disewa oleh wisman. Tampaknya para wisman sedang menikmati keindahan laut. Laut memang sangat bening, sehingga kita bisa melihat hingga dasar. Sebenarnya bisa saja menyewa perahu kelas Pinisi, namun harga sewanya saat itu adalah 1 juta rupiah-an. Kalau berbanyak, tentu harga tersebut tidaklah mahal. Saya memilih perahu tempel karena sewanya hanya 300 ribu rupiah saja. Biaya tersebut termasuk bermalam di pulau kecil dimana sekitar 500 KK suku Bajo bermukim.
Sesampai di TN. Komodo di P. Rinca, yang saya temui adalah para wisman (wisatawan manca negara). Saya tidak melihat seorangpun wisatawan lokal. Orang lokal hanyalah para petugas Taman Nasional milik Departemen Kehutanan. Setelah mengisi buku tamu, kami diantar oleh petugas mengunjungi dimana komodo biasa berkeliaran. Sekitar 2500 komodo berkeliaran secara bebas di seluruh P. Rinca, termasuk di sekitar penginapan petugas. Semua penginapan berbentuk panggung. Mungkin untuk menghindari gigitan komodo.
Komodo sebenarnya tidak memakan mangsanya secara langsung. Ia hanya menggigit mangsa dan menunggu sampai beberapa hari hingga mangsanya terkulai. Air liur komodo mengandung racun mematikan. Tidak seperti racun ular yang bisa mematikan dalam orde menit. Senjata untuk menghindari serangan komodo cukup sederhana, yaitu tongkat kayu yang ujungnya berbentuk huruf "Y". Panjang tongkat sekitar 2 meter. Kenapa ya? Komodo koq takut dengan tingkat kayu Y.
Kehidupan satwa di Pulau Rinca dibuat sebebas mungkin. Komodo, babi hutan, rusa berkeliaran secara bebas. Jika dulu pengunjung bisa memberi makan daging ke komodo, saat saya berkunjung sudah tidak diijinkan lagi. Komodo dibiarkan mencari makannya sendiri di seantero pulau (mungkin agar komodo gak manja he he he...). Selain di P. Rinca, komodo memiliki habitat di P. Komodo dan juga sebagian kecil P. Flores (menurut Guide saya).
Untuk mencapai P. Rinca dari Bogor memakan waktu cukup lama karena kami harus sering istirahat. Iramanya saya buat seperti irama kehidupan sehari-hari. Selepas subuh, kami sarapan lalu memulai perjalanan. Saat waktu dzuhur, berhenti untuk istirahat, makan dan sholat. Setelah selesai sholat berjalan lagi hingga waktu sholat ashar tiba. Setelah menunaikan sholat ashar, perjalanan dilanjutkan lagi hingga menjelang magrib. Sebelum magrib diusahakan untuk mendapatkan penginapan. Sehingga sholat magrib bisa di penginapan. Kemudian makan malam. Jadi selama perjalanan tidak ada istilah sholat jama dan qashar. Saya merasa Tuhan telah membuat irama kehidupan yang sangat serasi. Sehingga perjalanan jauh tidak terlalu melelahkan.
Sepanjang perjalanan dari Bogor, sempat istirahat di beberapa tempat, yaitu Yogyakarta, Kediri, Lombok, Bima. Untuk sampai ke P. Rinca, harus melewati 4 penyeberangan umum atau ferry, yaitu penyebarangan Ketapang Banyuwangi - Gilimanuk (Bali Barat), Padangbai (Bali Timur) - Lembar (Lombok Barat), Labuan Lombok (Lombok Timur) - Poto Tano (Sumbawa Barat), dan Sape (Sumbawa Timur) - Labuan Bajo (Flores Barat). Transportasi umum antara Labuan Bajo - P. Rinca tidak tersedia, anda harus menyewa kapal atau perahu. Yang membuat mahal adalah menyeberangkan mobil dan BBM, tapi penggunaan mobil pribadi menjadi lebih leluasa untuk pergi kemana saja. Salah satu tempat yang saya singgahi adalah Lombok. Kalau Bali dah keseringan. Menakjubkan juga keindahan Indonesia.