SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA SILATURRAHIM DENGAN AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (AIPI) DAN MASYARAKAT ILMIAH
Yang saya hormati, Presiden Republik Indonesia ketiga, Bapak Prof. Dr. Baharudin Jusuf Habibie,
Yang saya hormati Menteri Riset dan Teknologi dan para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II,
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Para Ilmuwan yang tergabung dalam AIPI, LIPI, dan asosiasi-asosiasi ilmu pengetahuan di Indonesia,
Hadirin sekalian yang saya muliakan,
Marilah kita bersama-sama, memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita tetap diberi kekuatan, dan insya Allah kesehatan, sehingga kita dapat bertatap muka dalam kesempatan yang membahagiakan ini.
Melalui kesempatan ini pula, saya ingin menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada para ilmuwan terkemuka Indonesia yang tergabung dalam Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), atas pemikiran, kajian, dan penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Kemajuan yang kita capai hingga hari ini, tentu tidak terlepas dari kontribusi saudara semua.
Saya juga menyampaikan penghargaan yang tinggi atas pernyataan Presiden Barack Obama, yang baru saja dibacakan oleh Duta Besar Cameron Hume. Pandangan yang konstruktif dan ajakan positif Presiden Obama untuk meningkatkan kerjasama bilateral di bidang Iptek, pendidikan, energi dan perubahan iklim patut kita sambut dengan baik. Namun kita semua juga merasa prihatin bahwa US Science and Technology Special Envoy,
Mr. Bruce Alberts, yang semula akan hadir di sini mengalami musibah kecelakaan. Mari kita doakan, agar Mr. Bruce Alberts dapat lekas pulih kembali seperti sediakala.
Saudara-saudara,
Kita sungguh berharap, pertemuan ini dapat merintis jalan ke arah peningkatan kerja sama antara Indonesia-Amerika Serikat, di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Indonesia dan Amerika Serikat kini sedang aktif menggarap suatu Kemitraan Strategis baru: yaitu suatu kemitraan komprehensif, yang mencakup kerja sama dalam berbagai sektor penting bagi kedua negara. Dalam kaitan ini, kerja sama di bidang pendidikan dan teknologi menjadi bagian penting dari kemitraan strategis kedua negara. Insya Allah, Kemitraan Komprehensif ini dapat diresmikan dalam kunjungan Presiden Barack Obama ke Indonesia yang direncanakan tahun ini.
Saya juga menyambut baik pernyataan Presiden Obama di Kairo bulan Juni tahun lalu, bahwa Amerika Serikat kini berkomitmen untuk membangun kemitraan baru—
“a new beginning”—dengan dunia Islam, yang di antaranya mencakup kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hal ini penting karena beberapa hal :
PERTAMA, memang, kalau kita ingin membangun suatu peradaban dunia
(global civilization), kita perlu terus membangun jembatan antar-peradaban, terutama di antara dunia Barat dan dunia Islam. Semua pihak harus berperan aktif menyebarkan
soft power, yang akan memperkokoh landasan bagi perdamaian dunia.
KEDUA, Islam tidak pernah bertolak belakang atau memusuhi ilmu pengetahuan–bahkan
Islam selalu selaras dengan ilmu pengetahuan. Bahkan, puncak kejayaan Islam sebagai peradaban dunia yang paling maju di Abad ke-13 justru terjadi, karena umat Islam membuka diri dan mengejar ilmu pengetahuan di manapun. Dengan pusat peradaban di Baghdad, umat Islam mencatat berbagai kemajuan dan penemuan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sampai sekarang kita rasakan manfaatnya: kompas, anestesi, aljabar, optik, astrologi, irigasi, navigasi, kimia, teknik sipil, rumah sakit pertama, dan kapal-kapal perdagangan. Pesan dan pelajaran sejarah ini masih tetap relevan–bahkan semakin relevan–sekarang: “siapa yang mau maju, harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dan KETIGA, tidak akan pernah ada
the second Islamic renaissance di Abad ke-21, tanpa
penguasaan umat Islam di bidang iptek. Meskipun terdapat kemajuan di beberapa komunitas Islam, sebagian besar umat Islam saat ini masih tertinggal dalam pencapaian Millenium Development Goals, dan
Human Development Index, masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, serta masih termarginalisasi dalam era globalisasi. Masih banyak umat Islam yang terlalu bernostalgia terhadap kejayaan di masa lalu, tanpa memahami bahwa peluang untuk maju dan berkarya di depan mata justru jauh lebih besar.
Sewaktu saya berpidato di Harvard University akhir tahun lalu, dan juga dalam artikel The Economists yang saya tulis, saya menekankan bahwa Abad ke-21 tidak harus mengikuti skenario
“clash of civilizations”. Abad ke-21 justru dapat kita wujudkan menjadi suatu
“confluence of civilizations”, di mana seluruh peradaban dunia–apakah Barat, Islam, Timur–dapat hidup berdampingan secara damai, dan dapat saling memperkaya dan melengkapi.
Kita yakini bahwa hal ini bukan sebuah utopia, tetapi suatu visi yang realistis–
an achieveable vision.Hadirin yang saya hormati,
Mari kita memulai dengan suatu preposisi: “Abad ke-21 akan menjadi
abad paling inovatif dalam sejarah umat manusia”.
Disadari atau tidak, kita sedang berada dalam arus perubahan sejarah yang sangat dahsyat. Ada yang menyatakan bahwa arus perubahan dalam 10 tahun mendatang, akan lebih deras daripada perubahan dalam 100 tahun terakhir.
Kita lihat saja komputer, internet dan telepon selular. Di awal tahun 1990-an, email, komputer dan
handphone hanya dinikmati oleh segelintir orang. Kini, 20 tahun kemudian, di seluruh dunia, 1,4 milyar orang telah mempunyai e-mail, ada 1 miliar komputer, dan 3,3 miliar pengguna
handphone–sekitar separuh dari jumlah penduduk dunia. Proses ini akan terus berkembang. Kita meyakini bahwa di paruh kedua Abad-21, sebagian besar umat manusia akan terjamah oleh komputer, internet dan
handphone.Peradaban manusia juga sering berubah karena ide-ide dan penemuan-penemuan baru. Penemuan bubuk mesiu menimbulkan transformasi militer dengan segala implikasi politiknya. Penemuan mesin uap memulai revolusi industri dan mengubah sejarah Eropa. Penemuan vaksin di abad ke-18 mengubah ilmu kodokteran dan menyelamatkan jutaan umat manusia. Penemuan reaksi fisi nuklir menghasilkan bom atom dan senjata nuklir yang dapat memusnahkan umat manusia.
Berbeda dari abad-abad sebelumnya, perubahan yang kita alami di Abad ke-21 akan bergerak sangat pesat. Misalnya: dalam kurun waktu hanya sekitar 100 tahun, manusia dapat bergerak dari kecepatan kuda, ke kecepatan mobil, ke kecepatan jet, ke kecepatan suara, dan bahkan sudah mendarat di bulan.
Sejumlah negara–baik besar maupun kecil—yang dulu dikenal sebagai “negara miskin” kini telah melejit menjadi ekonomi yang unggul. Indonesia sendiri, yang dulu pernah menjadi salah satu bangsa paling miskin di Asia, kini telah menjadi ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan
anggota G-20.
Kita juga melihat perubahan pesat ini di bidang lingkungan, khususnya perubahan iklim. Semenjak revolusi industri di Eropa 200 tahun lalu, karena ulah manusia, terutama di negara-negara industri maju, suhu dunia telah naik sekitar 0,6 derajat celcius. Konsentrasi karbondioksida meningkat 36%, dan lapisan ozon semakin menipis. Kalau kita tidak cepat meng-atasinya, suhu dunia bisa naik 4 derajat Celsius dan membawa malapetaka bagi umat manusia dan bagi planet bumi—rumah kita satu-satunya.
Dalam menghadapi arus sejarah yang dahsyat ini, saya yakin sekali bahwa dalam Abad ke-21 yang akan menjadi the most powerful driver of change adalah teknologi. Apakah itu bangsa, perusahaan, komunitas, atau individu,
the biggest driver for change adalah teknologi.
Dewasa ini, kita semua telah melihat dan merasakan: porsi teknologi dalam PDB kita semakin besar. Porsi Teknologi dan
know-how semakin menonjol, apakah itu untuk pertanian, industri, perdagangan, keuangan, pendidikan, kesehatan, pertahanan, jasa, dan lain-lain.
Makin nyata, pertumbuhan ekonomi dan daya saing sebuah bangsa sangat disumbang oleh penguasaan teknologi. Inilah yang sering disebut sebagai
“intangible intellectual resources”, atau
“knowledge capital”.Kecenderungan ini akan terus menguat, karena proses pengembangan teknologi tidak akan pernah berhenti.
Dalam abad yang sangat progresif ini, kita tidak bisa lagi hanya mengutuk masa lalu atau menyalahkan orang lain. Kalau kita gagal, itu adalah kesalahan kita sendiri, karena kita tidak mampu membaca tanda-tanda zaman. Kalau kita kelak tampil unggul di depan yang lain, itu terjadi karena kerja keras dan kemampuan kita dalam beradaptasi.
Saudara-saudara,
Karena itulah, kunci dari keunggulan Indonesia di Abad ke-21 adalah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Salah satu penyebab bangsa kita terbelakang selama ratusan tahun adalah, karena nenek moyang kita tidak mendapatkan akses terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari belahan dunia lain. Sebelum kebangkitan nasional tahun 1908, pada saat Eropa mendominasi dunia, Jepang mengalami Restorasi Meiji, Amerika Latin menikmati masa kemakmuran, Amerika Utara tumbuh pesat, dan Kerajaan Islam Otoman berjaya, bangsa Indonesia masih terisolasi dalam penindasan kolonialisme, dan rakyat kita tenggelam dalam kebodohan dan kemiskinan.
Abad ke-20 adalah abad kebangkitan nasional, abad kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Kunci sukses kita untuk mencapai itu tiada lain adalah persatuan. Kita mutlak membutuhkan persatuan untuk melawan penjajah, untuk mempertahankan kemerdekaan, untuk menangkal separatisme, untuk menjaga keutuhan wilayah, untuk membangun perekonomian, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan untuk mengembangkan jati diri bangsa. Itulah perjuangan kita di Abad ke-20.
Di Abad ke-21, situasinya telah berbeda: Hakikatnya, Indonesia tidak punya musuh, dan tidak ada negara lain yang memusuhi Indonesia. Politik bebas aktif Indonesia kini diabdikan untuk mewujudkan
“a million friends, zero enemy”. Abad ke-21 adalah abad keunggulan, dan kunci sukses untuk mencapai itu adalah inovasi. Kita memerlukan inovasi untuk memerangi kebodohan, untuk mengentaskan kemiskinan, untuk memacu pertumbuhan dan produktivitas, dan untuk menjadi bangsa yang terhormat, maju dan kompetitif.
Saudara-saudara,
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa adalah hasil dari suatu kerja besar yang terencana dan berkesinam-bungan. Sesungguhnya pula merupakan bagian integral yang dinamis dari sebuah peradaban
(civilization).Teknologi tidak bisa dimimpikan dan didatangkan begitu saja—bukan seperti membeli barang di supermarket. Mungkin satu dua teknologi bisa dibeli seperti itu—namun tidak untuk mencapai
technological society, dan juga
knowledge society.Untuk menjadi bangsa yang menguasai iptek, kita harus bisa menempatkan inovasi sebagai urat nadi kehidupan bangsa Indonesia. Kita harus bisa menjadi
Innovation Nation —bangsa inovasi! Rumah bagi manusia-manusia yang kreatif dan inovatif.
Untuk mencapai kondisi seperti itu ada sejumlah hal penting yang harus kita bangun dan lakukan.
Pertama, adalah mengubah
mindset. Ingatlah,
innovation is a state of mind. Inovasi itu adalah suatu semangat, suatu energi, dan suatu etos. Semua fenomena sejarah—apakah itu peradaban Islam, Renaissance di Eropa, Restorasi Meiji di Jepang, tampilnya Amerika sebagai
superpower, “the rise of” Cina dan India—semuanya dimulai dengan suatu semangat, dan terbangunnya
mindset baru, yang kemudian menghasilkan berbagai inovasi baru, dan yang akhirnya mengakibatkan transformasi besar-besaran.
Karena itulah, kita di Indonesia harus bisa mengembangkan budaya unggul—
a culture of excellence—baik di birokrasi, di universitas, maupun di sektor swasta. Sistem dan lingkungan nasional kita harus bisa melahirkan inovator-inovator yang kreatif. Ini semua akan terwujud jika masyarakat kita, kita semua, benar-benar menghargai kerja keras kaum peneliti, ilmuwan, dan inventor. Mereka harus bisa menjadi ikon masyarakat, dan bukan menjadi catatan pinggir, apalagi hidup tanpa penghormatan, tanpa apresiasi, dan tidak sejahtera. Ilmuwan, peneliti dan inovator harus berada di garis terdepan perubahan nasib bangsa, dan menjadi pendekar keunggulan.
Inovasi juga menuntut sikap
open-mind dan
risk-taking, bukan sikap yang kaku dan dogmatis. Komunitas iptek Indonesia harus berwawasan jauh lebih terbuka dan lebih progresif dari masanya, dan dari masyarakat, untuk mengembangkan ilmu dan teknologi. Dalam era globalisasi dewasa ini, Nasionalisme kita dicerminkan bukan dalam tindakan melawan atau menutup diri dari dunia, namun dalam kemampuan untuk menyerap ilmu dan teknologi dari manapun untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Karena itulah, kita bercita-cita agar Indonesia menjadi bagian integral dari komunitas ilmuwan dunia. Kita berharap sebanyak mungkin ilmuwan Indonesia mengadakan riset, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Saya ingin ilmuwan Indonesia bahu membahu dengan ilmuwan internasional, dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan umat manusia. Kita harus aktif bukan saja menyerap ilmu dari dunia, namun juga menyumbang ilmu untuk dunia.
Itulah
mindset yang akan mengantarkan kita menjadi
Innovation Nation.Saudara-saudara faktor kedua adalah, selain didukung
mindset yang tepat, inovasi juga memerlukan Investasi dan Insentif. Inovasi tidak datang dari langit, namun memerlukan inkubator-inkubator—di lingkungan pemerintah, universitas, perusahaan, dan lain-lain. Mau tidak mau, harus ada sumberdaya dan dana yang cukup, serta program yang berkesinambungan.
Pada awal saya mengemban amanah rakyat, saya menyadari bahwa alokasi dana untuk penelitian dan pengembangan (R&D-research and development) di Indonesia pada tahun 2005 masih rendah – yaitu sekitar Rp 1 trilyun. Karena itulah, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan porsi itu menjadi lebih memadai, dan syukur alhamdullilah pada tahun 2010 dapat kita tingkatkan menjadi Rp 1,9 triliun. Tentu saja jumlah inipun masih harus terus kita tingkatkan. Namun, perlu diingat, sumberdaya dan dana penelitian dan pengembangan tidak hanya berasal dari APBN, tetapi juga mesti dianggarkan oleh dunia usaha yang juga memerlukan inovasi di perusahaannya masing-masing. Pendanaan dari kerjasama internasional juga merupakan alternatif yang makin terbuka.
Sementara itu saya berpandangan, bahwa cara penting untuk membangun inovasi adalah melalui pengembangan
enterpreneurship. Kita semua tahu bahwa enterpreneurship identik dengan inovasi,
risk-taking, peluang, dan dinamisme. Di Amerika, Cina, India, Jepang, Korea, dan Singapura, kita melihat bahwa inovasi tumbuh pesat sejalan dengan merebaknya
enterpreneurship.Yang juga penting diingat: kita tidak harus selalu menjadi inventor teknologi baru. Namun kita harus cerdik mencari, menyerap dan mengembangkan teknologi baru untuk pembangunan Indonesia. Bahkan, sering terjadi, pihak yang lebih cerdik mendayagunakan teknologi bisa lebih maju dari pihak yang menemukan teknologi itu sendiri.
Faktor ketiga adalah, kebijakan pemerintah dan kolaborasi. Kalau kita lihat dari bukti-bukti empiris, hampir semua inovasi teknologi merupakan hasil dari suatu kolaborasi, apakah itu kolaborasi antar-pemerintah, antar-universitas, antar-perusahaan, antar-ilmuwan, atau kombinasi dari semuanya. Karena itulah,
networking antara inkubator menjadi sangat penting. Saya mendorong ilmuwan Indonesia untuk menjalin
networking dan kolaborasi yang seluas-luasnya dengan lembaga penelitian, lembaga kajian dan universitas manapun di dunia, karena ini adalah kunci sukses bagi masa depan kita. Salah satu ciri Era Globalisasi dewasa ini adalah keniscayaan untuk sebuah
knowledge-sharing antar bangsa.
Hadirin sekalian yang saya hormati,
Dunia kini boleh dikatakan sedang panen teknologi. Namun perlu diingat, teknologi yang kita cari dan pilih haruslah tetap relevan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang dan ke depan. Tantangan itu antara lain adalah : pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan dan energi, pemeliharaan lingkungan hidup, peningkatan industri, ketangguhan pertahanan dan keamanan negara, serta penguasaan teknologi yang menjemput masa depan.
Karena itulah, ke depan, bangsa Indonesia harus makin menguasai teknologi, yang dapat menjawab tantangan-tantangan pokok itu.
Pertama, teknologi untuk mengentaskan kemiskinan–
pro-poor technology.Teknologi sering disalah-persepsikan seolah hanya untuk kepentingan industri besar yang canggih saja. Padahal untuk negeri kita juga diperlukan teknologi yang dapat memberdayakan rakyat miskin. Misalnya: telekomunikasi murah untuk desa terpencil, bibit unggul, teknologi air bersih, hidroenergi dan Rumah Sederhana Tahan Gempa.
Kedua, teknologi hijau –
green technology. Kita sudah menetapkan target penurunan emisi 26% untuk tahun 2020 dari
“business as usual”, dan target ini bisa ditingkatkan menjadi 41% apabila ada bantuan internasional yang memadai. Untuk itu, kita harus menerapkan pembangunan yang hemat energi
(low carbon footprint), meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan seperti geothermal, angin, dan surya, serta meningkatkan teknologi pengawasan hutan, misalnya melalui satelit, untuk mendeteksi
hotspot kebakaran hutan. Saya juga bangga bahwa seorang inovator energi kita, Saudari Tri Mumpuni, telah merintis pembangunan energi mikro-hidro di desa-desa, dan telah mendapatkan pengakuan internasional. Inovasi segar seperti ini harus terus dikembangkan dan disebarkan.
Ketiga, teknologi pangan, yang sangat penting bagi kesejahteraan rakyat kita
(food security). Kita memerlukan teknologi pertanian baru untuk mencari bibit unggul, meningkatkan hasil panen, dan melipat-gandakan produktifitas pangan guna mencapai kondisi swasembada, bahkan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Saya ingin, pada saatnya nanti Indonesia menjadi
“major food producer” di dunia internasional.
Keempat, teknologi industri. Produk-produk industri Indonesia harus bisa menunjang pencapaian 2 aspek penting, yaitu padat teknologi dan padat karya. Kita harus bisa membuat industri kita lebih efisien, lebih produktif dan lebih mempunyai nilai tambah. Kita juga harus mulai mencapai
high-end products, menciptakan branding yang dikenal dunia internasional, dan bahkan bisa bersaing dalam aspek desain yang selama ini cenderung didominasi industri negara-negara maju. Hal ini penting karena pada saat ini dan ke depan, industri akan tetap menjadi tulang panggung ekonomi Indonesia.
Kelima, teknologi kesehatan. Kita harus mencari teknologi terkini untuk memerangi penyakit-penyakit menular : apakah itu H5N1, H1N1 dan virus-virus berbahaya lainnya, yang pasti akan terus bermutasi mengancam keluarga kita dan bahkan umat manusia. Virus berbahaya, sama seperti bencana alam, akan menjadi salah satu ancaman paling riil bagi bangsa kita di abad ke-21. Seperti yang kita alami dalam kasus epidemi H1N1 (Swine Flu), Indonesia tidak bisa menangani ancaman ini sendiri, apalagi kalau menyangkut virus yang datang dari luar yang kita tidak mempunyai vaksinnya. Karena itulah, kita harus bekerja-sama dua arah : kita berbagi ilmu dan penemuan dengan dunia kesehatan internasional, sebagaimana kita terus mengharapkan dunia luar berbagi dengan kita.
Keenam, teknologi maritim. Sebagai negara Nusantara, kita harus membangun teknologi kelautan, misalnya untuk konversi air minum atau teknologi perkapalan. Kita juga harus mendapatkan teknologi canggih untuk bisa mengeksplorasi kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, baik perikanan,
hydrocarbon dan mineral. Saat ini, misalnya, kita belum mempunyai kemampuan yang memadai untuk melakukan
offshore drilling apalagi
deep sea drilling. Indonesia secara fisik adalah negara Kepulauan terbesar di dunia, tapi kita belum menjadi negara maritim yang kuat.
Ketujuh, teknologi pertahanan. Disini, TNI harus terus meningkatkan postur dan kapabilitasnya, termasuk penguasaan
“revolution in military affairs” (RMA). Kita harus bisa meningkatkan kualitas dan tingkat teknologi industri pertahanan kita– termasuk melalui
joint production dengan industri militer negara-negara lain, serta bentuk kerjasama yang lain. TNI harus meningkatkan kapasitas untuk melakukan
military operations other than war (MOOTW), serta kemampuan
peace-keeping operation di wilayah-wilayah konflik di dunia. TNI juga harus mempunyai kemampuan untuk melakukan surveillance dan menjaga pulau-pulau terpencil, wilayah perbatasan dan lautan Nusantara yang terbentang luas. Sementara itu, Polri dan aparat intelijen juga harus terus meningkatkan kemampuan operasionalnya untuk melawan kejahatan trans-nasional, termasuk kelompok teroris yang juga memanfaatkan teknologi yang canggih.
Dan, kedelapan adalah, teknologi masa depan: yaitu
nano technology, bio-engineering, genomics, robotics, dan lain-lain. Teknologi-teknologi revolusioner ini tentu tidak sepatutnya hanya didominasi dan dimonopoli negara-negara maju saja. Banyak
emerging economies --seperti Cina, India, dan Brazil - yang kini mulai merintis teknologi-teknologi baru ini. Indonesia tidak boleh tertinggal. Saya senang sekali bahwa Universitas Pelita Harapan (UPH) sudah mulai membangun pusat riset untuk
nano-technology.Hadirin sekalian yang saya hormati,
Untuk mengembangkan semua ini, dibutuhkan suatu Sistim Inovasi Nasional, yaitu suatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka-panjang dapat mendorong, mendukung, menyebarkan dan menerapkan inovasi-inovasi di berbagai sektor, dan dalam skala nasional.
Konsep seperti ini relatif baru, meskipun sudah mulai diterapkan di beberapa negara yang mengalami transformasi. Setiap negara mempunyai Sistim Inovasi Nasional dengan corak yang berbeda dan khas, yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya masing-masing.
Saya berpendapat, di Indonesia, kita juga harus mengembangkan Sistem Inovasi Nasional, yang didasarkan pada suatu kemitraan antara pemerintah, komunitas ilmuwan dan swasta, dan dengan berkolaborasi dengan dunia internasional. Oleh karena itu, berkaitan dengan pandangan ini, dalam waktu dekat saya akan membentuk Komite Inovasi Nasional, yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden, untuk ikut memastikan bahwa Sistem Inovasi Nasional dapat berkembang dan berjalan dengan baik.
Semua ini penting kalau kita sungguh ingin Indonesia menjadi
knowledge society. Kita dikaruniai wilayah yang sangat luas, yang terbentang dari Sabang ke Marauke, dari Miangas ke Pulau Rote. Kita mempunyai sumber daya alam yang berlimpah. Kita memiliki sumberdaya manusia yang tangguh, yang terus dapat ditingkatkan keunggulan dan daya saingnya. Dan kita mempunyai hubungan yang baik dengan semua pihak—baik dunia Barat, dunia Islam, negara-negara berkembang,
emerging economies, dan lain-lain—yang semuanya dapat menjadi mitra pembangunan Indonesia.
Karenanya, dengan semua ini, ke depan, Indonesia mempunyai peluang emas untuk memajukan kehidupan bangsa kita. Strategi yang kita tempuh untuk menjadi negara maju,
developed country, adalah dengan memadukan pendekatan sumberdaya alam, iptek dan budaya, atau
knowledge-based, resource-based and culture-based development.Kalau visi ini kelak tercapai, bangsa kita akan mengalami transformasi yang fundamental, menjadi bangsa yang maju dan jaya di Abad ke-21. Mari kita songsong era itu dengan kepercayaan sebagai sebuah bangsa yang penuh inovasi. Insya Allah, dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, serta dengan persatuan, kebersamaan dan kerja keras kita, masa gemilang itu akan datang.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Serpong, 20 Januari 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONOSumber :
http://www.presidensby.info/